Kamis, 28 Maret 2013

Jalan Hidup

Hidup ini seperti jalan. Tak selalu mulus dan lurus.

Suatu kali aku naik sepeda motor sama sahabatku. Melewati jalan sepi yang berbatu. Aku bertanya,"Kayake kemarin kita gak lewat jalan sini"
"Iya, tapi ntar lak tembuse sama kayak yang kemarin. Kita menghindari jalan macet"
Aku diam.
Kemudian bertanya,"Dengan tujuan dan jarak tempuh yang sama, kamu pilih jalan mulus tapi dilewati banyak orang atau jalan sepi tapi berbatu?"
"Kalau dengan jarak tempuh yang sama si aku milih jalan yang mulus tapi dilewati banyak orang", katanya mantap.
Tanpa ditanya balik, aku memberikan pernyataan,"Kalau aku sih jalan sepi tapi berbatu"

Tujuan hidup itu terkadang seperti jalan. Mulus tapi dilewati banyak orang, yang artinya kamu harus bersaing dengan orang lain, harus terseleksi dulu, siapa cepat dan lihai maka dialah yang akan sampai duluan. Atau jalan sepi yang berbatu, sainganmu bukan manusia tapi batu. Yang semuanya adalah sama-sama bernama ujian.

"Tapi kenapa kamu pilih jalan sepi yang berbatu, sedang jarak tempuhnya sama?", sahabatku penasaran.
"Yang pertama, aku gak suka ramai, bikin kepala puyeng. Yang kedua, jika nikmat yang dicapai sama, tapi ujian yang diterima lebih berat, maka nikmatnya akan terasa luarrrrr biasa dan kita akan bersyukur sekali atas nikmat tersebut"

Cita-cita

Akhir-akhir ini Surabaya diterpa hujan angin bos! Dan karena sudah janji sama Rahma buat dateng ngajar, berangkatlah aku sama Della ke perempatan Ambengan. Dari ITS hujannya tinggal rintik-rintik, sampai lampu merah Kertajaya,"Dell, ujan", kataku masih dengan suara riang. "Kata Mas Advin, Ambengan panas kok", lanjutku menghibur diri sendiri. Tapi lama kelamaan hujan semakin deras. Akkk..lampu merahnya lama...hujannya gede2. Untungnya si lampu ijo gak konslet, kami maju, menepi, sudah basah kuyup. "Gimana ini Del? Lanjut ta?"
"Uwes lanjut ae sekalian"
Kami berdua menerobos hujan. Della gak tau jalan, jadi pas deres2nya aku buka jas hujan cuma bilang,"Iyo bener iki dalan e"

Sampek Graha Amerta jalannya kering. Ambengan juga kering. Di sana sudah ada Mas Advin, Wulan, Rahma dan Dita. Tidak lama kemudian datang Lisa.
Langit Ambengan gelap, angin berhembus kencang, hujan, banjir.
"Ayo terang terang terang", pekik Wulan dengan gigi ompongnya.
"Ojok ngomong ngono, ngko tambah deres", Rahma gak mau kalah teriakannya.
Aku nyengir-nyengir
Dan dua anak itu beradu teriakan
"Terang terang terang"
"Udan udan udan"
"Terang terang terang"
"Udan udan udan"
Aku sibuk menutupi tubuh mereka dari angin, tapi tetap saja kehujanan. Rahma memberiku koran untuk melindungiku dari hujan, aku bingung memasangkannya ke tubuhku, akhirnya dia sendiri yang selimutan dengan koran. Tapi tak lama.
Della ngajari Dita dan Lisa. Aku ngajari Wulan dan Rahma. Mas Advin menutupi kami dengan payung.

"Mbak Anis gak rene Mas?", tanyaku ke Mas Advin.
"Mbak Anis, Mbakku", teriak Wulan.
"Lha Mbak Tiara, Mbak e sopo?", tanyaku iri.
"Mbakku!", Rahma mengangkat tangannya.
Aku senyum-senyum.

"Mbak-mbak aku duwe cita-cita, tak tulis yooo", pamer Wulan.


















Kalo yang ini cita-cita Rahma

Impian mereka sungguh sederhana. Sebab mereka berjualan koran, kelak mereka besar ingin menjadi juragan koran dan wartawan yang menuliskan koran. Mereka bukan anak jalanan, mereka adalah anak masa depan. Doakan cita-cita 2 adek kecilku terkabul ya teman-teman!

Selasa, 26 Maret 2013

Doa


Tentang sebuah kenangan yang entah hilang entah singgah, aku tak lagi memikirkannya
Tentang lelaki yang memikirkanku atau tidak, aku memutuskan untuk tak memikirkannya
Tentang sajak yang dulu tiap malam kudendangkan, kini terabaikan
Tentang nyanyian yang merindukan lagu, aku kehilangan suara
Tentang diary yang merindukan pena, aku lupa bagaimana cara menuliskannya
Tentang mimpi yang tiba-tiba temaram, aku ingin mengejarnya
Tentang kecintaan pada dunia yang ingin kukejar, aku akan berlari
Berlari dari mimpi dan kenyataan
Dan seandainya dia terselip di antara keduanya, aku akan menjumputnya
Karena kutahu Tuhan Maha Tahu
Tanpa kuberi tahu
Tuhan pasti tahu
Maka kuputuskan isi doaku bukan untukku

Kamis, 21 Maret 2013

Untuk Tuhanku, Tuhan Kita Semua

Rindu...
Biar hanya Tuhan yang tahu
karena Dia Maha Tahu

Cinta...
Biar hanya Tuhan yang tahu
karena Dia Maha Tahu

Sayang...
Biar hanya Tuhan yang tahu
karena Dia Maha Tahu

untuk apa diberitahu
sebab Ia sudah tahu
semoga bisa tetap kujaga rindu, cinta dan sayang ini
bukan hanya sekedar tulisan dan pencitraan
semoga

Kamis, 07 Maret 2013

Jalan-jalan

Menyambut kedatangan Anies dengan suka cita meski kepala berat dan suara pun ikut memberat. Bingung saat Anies ingin berjalan-jalan di sekitar Surabaya. Bukannya gak tau jalan Surabaya, tapi emang gak tau. Untungnya Anies cuma pengen di depan patung Surabaya. Kebetulan dari dulu aku juga pengen banget tapi gak pernah berhasil membujuk teman untuk foto di situ.

Akhirnya memutuskan untuk ke Malang. Awalnya Cin, Nia, KD mau ikut, takut capek mungkin jadi gak jadi. Secara berangkat dari Surabaya Sabtu malam. Jalan Surabaya-Malang macet, sampai di rumah Arina udah gelap. Memakan waktu sekitar 4 jam. Kata Arina biasanya 3 jam. Jalan selalu memberikan kejutan memang. Sampai di rumah Arina langsung makan, sholat kemudian tidur. Paginya bingung mau kemana. Arina menunjukkan foto-foto waktu dia dan teman-temanku yang lain ke sempu. "Oke, karena baru saja kita sudah ke Sempu, berarti kita ke Goa Cina", kataku. Yah, kupikir aku cukup puas membayangkan bagaimana sempu dengan hanya melihat foto.

Selasa, 05 Maret 2013

Ketidaktahuanku

Kenapa akhir-akhir ini merasa ganjil dengan kehidupanku sendiri? Semacam kehilangan sesuatu bernamakan tujuan. Kata teman, orang yang tidak punya tujuan atau yang biasa disebut dengan cita-cita, orang itu bernama bodoh. Bisa jadi sekarang aku melewati fase itu, fase kebodohan, dimana sel otak terus menerus mengalami degenerasi karena tidak digunakan maksimal.

Katanya, tujuan manusia hidup di dunia ini hanya beribadah kepada Tuhan. Belajar ibadah. Bekerja ibadah. Melakukan perjalanan ibadah. Membaca ibadah. Senyum adalah ibadah. Jika semuanya ibadah, mengapa seseorang bisa merasa jauh dari Tuhannya? Dan kini aku merasakannya. Ya, mungkin karena aku tak menggunakan hatiku. Mungkin. Mengapa mungkin? Karena aku pun tak tahu apa yang benar-benar terjadi kepadaku sekarang. Berpura-pura menjadi orang baik padahal busuk. Berpura-pura beribadah supaya dibilang taat. Jika semua yang kulakukan pura-pura, jangan-jangan aku hanya akan mendapat lelah. Aku hanya mendapat pujian dari manusia-manusia bodoh yang berhasil kutipu. Aku hanya mendapat...tidak. Aku tidak mendapat apa-apa. Sebab kepura-puraanku masih setengah-setengah. Suatu saat nanti, aku ingin sekali berpura-pura menjadi orang taat yang diakui, hingga KTP ku tak hanya bertuliskan agama: Islam, tapi juga ada embel-embel agama: Islam yang TAAT. Aku ingin totalitas berpura-pura supaya kepura-puraanku menjadi kebiasaan dan kebiasaanku membawa pemahaman kecintaan kepada Tuhanku, suatu saat nanti. Seandainya kamu bertanya, mengapa tidak sekarang, maka aku akan mengelak untuk beralasan. Aku memang tak punya alasan untuk menunda. Tapi aku sendiri tak tahu mengapa kutunda. Terkadang kita tahu bahwa sesuatu itu baik tapi kita melakukan yang buruk. Katanya manusiawi. Mungkin itu tujuan Tuhan menciptakan neraka, supaya ada penghuninya. 

Sebenarnya, aku takut pada neraka atau kepada Tuhan?

Karena aku pandai berpura-pura, maka kujawab Tuhan.

Aku ingin mendekat dengan hatiku. Bukan hanya ragaku yang melakukan gerakan-gerakan magis bernama sembahyang. Bukan hanya mulutku yang melantunkan ayat-ayat Tuhan. Bukan hanya bicaraku yang seolah-olah taat.
Ada yang bisa bantu?

Senin, 04 Maret 2013

Hanya duduk, membaca pdf yang tak kunjung dimengerti, membaca status2 motivasi dan meminta doa pada teman-teman. Hanya itu. Tinggal lusa. Bingung mencemaskan apa karena faktanya saya tidak cemas samasekali. Padahal belum baca banyak, belum belajar banyak. tidaaaaaak