Minggu, 09 Maret 2014

Sedia Payung Sebelum Hujan

Dulu, aku tak menyediakan payung sebelum hujan turun. Kupikir langit akan cerah seharian. Tapi perkiraanku salah. Angin berhembus kencang. Awan berkumpul menjadi satu membentuk mendung. Dan hujan. Saat hujan, kau malah berlari meninggalkan. Aku kehujanan, sendirian. Dingin. 

Meski hujan tak lagi turun, aku masih merasakan dingin itu. Dinginnya ditinggalkan. Dinginnya tanpa teman. Sampai akhirnya aku mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan. Aku sudah tak lagi kedinginan meski hujan turun begitu deras. 

Ini musim kemarau. Kau tiba-tiba datang, setelah sekian lama, menawarkan minuman dingin. Maka maaf, meski hari ini matahari membakar kulit, aku tak tertarik dengan minuman dinginmu. Cuaca bisa berubah setiap saat. Hujan turun bisa kapan saja. Panas terhapus air hujan. Dan kau? Jangan-jangan setelah hujan turun nanti kau akan berlari berteduh sendiri (lagi). Tapi tak masalah, aku sudah sedia payung. Maka, ada atau tak ada dirimu, sudah tidak ada artinya. Tawarkan saja minuman dingin kepada orang-orang yang sekiranya dia mau kau temani hanya saat cuaca cerah!  

Kamis, 06 Maret 2014

Shaf Pertama

Karena di tempat saya dan Mustika mengerjakan tugas tidak ada tempat shalat, akhirnya kami memutuskan mencari masjid karena waktu ashar sudah mepet. Kami berhenti di masjid Keputih, gak tau namanya. Karena maghrib udah deket, sekalian nungguin maghrib, kami tetap di masjid.
"Eh aku sungkan, gak shalat, kayak tempat tongkrongan aja sini", kata Sum.
"Alah paling yang keisi shaf 1 sama 2", saya jawab sekenanya.
Pas maghrib, saya langsung ambil mukena karena wudhunya belum batal. Saya menggelar sajadah di shaf pertama. Di samping kiri saya ada 2 ibu-ibu tua, yang satu udah nenek-nenek yang satu cuma tua tapi belum nenek-nenek. Yang nenek-nenek bilang,"
*&%$#@$^&)*^%@#"
"Apa mbah?", aku gak denger, suara nenek tak terdengar jelas. Nenek bilang lagi,"#$%$^%^@##$$*&", lagi-lagi gak jelas dan saya bertanya lagi,"Apa mbah?"
Nenek kesal,"Walah, yowis nek gak krungu!"
Saya tanya sama-sama ibu di sampingnya,"Nenenk ngomong apa si tadi?".
"Gak tau, gak jelas!", si ibu jawab agak ketus. Selang beberapa menit, nenek nyeplos lagi,"Nah kan ibu-ibuke akeh sing teko!"
Saya bingung, diam, toleh kanan-kiri. Di kanan saya ada ibu-ibu yang juga udah agak tua bilang,"Udah, gakpapa, Mbak"
Saya senyum, tetep bingung. Dan ternyata samping kanan kiri dan belakang saya semua ibu-ibu.

Oke, saya akan mengambil asumsi tentang apa yang dikatakan nenek-nenek berwajah kesal
1. Shaf pertama dan kedua adalah milik ibu-ibu dan nenek-nenek
2. Nenek tidak suka ada remaja atau orang dewasa yang belum ibu-ibu berada pada shaf pertama atau kedua

Pertanyaan saya kalau memang asumsi itu benar, emang salah ya kalau anak muda ingin di shaf depan?
Tapi coba deh kalian ke masjid atau ke mushala-mushala dekat rumah, pasti shaf depan bukan anak muda. Kalau di mushala dekat rumahku ya, baris depan itu nenek-nenek. Baris kedua itu ibu-ibu. Kalau ada bu RT, bu RT biasanya ada di shaf depan juga, biasanya orang-orang sungkan dengan mempersilakan bu RT di depan. Kecuali kalau ibu-ibu yang datengnya telat, pasti dapet shaf belakang. Dan nenek-nenek tak pernah telat :D

Apa dalam islam ada aturan shaf yang tua di depan?

Senin, 03 Maret 2014

Entahlah, mengapa saya menjadi sesensitif ini. Orang-orang di sekitar seakan menertawakan. Ya, hanya seakan. Hanya dipikiran saya saja. Mungkin seleksi alam itu benar. Yang bisa, ngumpul sama yang bisa, yang tidak bisa, ngumpul sama yang tidak bisa. Tuhan, bukankah hasil ini adalah ketentuanMu? Mungkin kemarin saya harus tersingkir dari perhelatan, tapi tidak kali ini. Saya tidak akan membiarkan anda-anda tertawa, meski hanya diangan-angan saya. Ini bukan dendam. Meski saya tahu usaha dan hasil tak memiliki korelasi, setidaknya berusaha semaksimal mungkin membuat saya lebih legowo menerima apa yang Tuhan berikan.
Dunia mungkin hanya sementara, tapi jangan jadikan yang sementara menjadi sia-sia.
Bismillah

Minggu, 02 Maret 2014

Ana Insan

Matahari berselimutkan mendung
Dulu di kampungku, ia bermahkota embun
Tapi di kotaku, ia bermahkota debu
Sepagi ini
Seramai ini
Sebising ini
Peduli apa manusia tentang embun
yang dipikir hanya isi perut, hawa dingin dan kursi empuk
Siapa tak ingin?
Isi perut berubah tanya tentang makan dimana
Bukan lagi makan apa
Hawa dingin ciptaan manusia-manusia tak suka panas berego
Tak apa yang lain panas, yang penting aku dingin
Kursi empuk adalah kenyamanan
Nyaman menjabatnya
Nyaman mempermainkan jabatannya

Matahari berselimutkan mendung
Kyai-kyai memperdebatkan halal-haram
Membicarakan surga-neraka
Ada apa dengan mereka?
Surga dilelang
Sedekah dipamerkan
Pahala diperjual belikan
Hidup hanya tentang untung-rugi
Apalah kita yang mengharap kembali?
Kebaikan tak bisa ditukar meski dengan kebahagiaan
Ujian tak bisa ditukar dengan hikmah
Untuk apa mencari-cari hikmah?
Kita diuji untuk menjadi baik bukan mendapatkan yang baik
Jika kau dapat, itulah anugerah
tapi tak usahlah kau cari-cari

Tuhan, maafkan kami yang belum menjadi khalifatullah
Kami tahu, baik-buruknya kami tak memengaruhi keagunganMu
tapi, jadikanlah kami manusia-manusia yang rindu akan pertemuan denganMu dan rasulMu
aamiin

Tak Termakan Teori

Hujan membungkus kota. Perempuan-perempuan kecil elok menari di tengahnya. Tak hiraukan bapak ibu pulang akan memarahinya. Tahu apa mereka tentang kesedihan? Tak ada. Bagi mereka kesedihan hanyalah 2 menit pertama setelah "sakit". Menit selanjutnya adalah sudah lupa. Kecuali jika setelah sakit kemudian pulang ke rumah dengan air mata. Bapak, ibu mana yang tega anaknya disakiti temannya? Maka, adalah bapak ibu yang kurang bijaksana memarahi kawan-kawannya. Kemudian kawan-kawan merasa bersalah dengan menjauhi. Tapi itu hanya sementara. Lihatlah saat hujan kembali tiba, mereka akan bernyanyi dan menari bersama.

Adalah seorang lelaki kecil yang termakan teori-teori orang tua. Tak berani ia melawan hujan. Badannya ringkih karena sugesti-sugesti "jangan ini" dan "jangan itu". Ia tumbuh dengan ketakutan. Orang tua keterlaluan mecintai anaknya. Memang, anak-anak adalah ujian. Dan bahwasanya sesuatu yang berlebihan memang tak baik. Lagi-lagi hakikat cinta ialah melepaskan bukan mencengkeram. Biarkan anak-anak tumbuh dengan bebas. Bebas tak berarti liar. Bebas ialah melepaskan dengan pengawasan. Beri mereka ilmu-ilmu agama dan sosial kemudian biarkan mereka berkreasi dengan ilmu-ilmu mereka. Tegur jika memang salah. Luruskan jika memang bengkok. Beri pengertian jika memang kurang atau tak mengerti.

Selamat pagi,