Kamis, 17 April 2014

Kotak Kebahagiaan

Perempuan tiba-tiba mendulang kesedihan. Wajahnya tak hanya tertutup mendung tapi hujan. Dulu, ia sangat mencintai hujan. Baginya hujan ialah pelepas lelah, penghilang penat dan juga rahmat. Senyumnya selalu semburat dikala hujan tiba,"Hujan selalu dapat menghapus rasa sedihku,"katanya suatu hari.

Kini, iklim berubah. Hujan tak datang enam bulan sekali tapi hampir setiap hari. 

Perempuan tertegun, benih-benih bunga yang ia semai terbawa air, banjir. Benih-benih yang ia nantikan berbulan-bulan lenyap.

Masih rahmatkah hujan?

Hujan tetaplah rahmat. Tapi perempuan tetap saja menangis. Mungkin jika kebahagiaan itu dapat dikotak-kotakkan maka kebahagiaannya hanya dibatasi oleh sebuah kotak. Ya, hanya sebuah dan tak memiliki yang lainnya.

Hujan masih tetap rahmat dan hidup harus tetap berlanjut.

"Lebih baik menimba air daripada harus menanti embun, walaupun harus menimba dengan ember yang bocor sekalipun," kata salah seorang sahabatnya. Maka perlahan ia membangun kotak-kotak kebahagiaan, tak cukup satu tapi lebih dari seribu. Jika ada salah satu kotak rusak, maka ia akan membangun kembali kotak tersebut supaya tak hilang kebahagiaannya.

Ternyata, terus menerus diselimuti kebahagiaan membuatnya bosan. Sebab bahagia hanya untuk dirinya sendiri. Perempuan berfikir keras, selalu ada yang kurang setiap kali ia merasa bahagia, sendiri. Ya, meski terlambat menyadari, setidaknya ia belajar dari itu. Ia sadar bahwa kotak-kotaknya harus ia bagikan supaya tak hanya ia seorang diri yang terus menerus merasa bahagia tapi orang-orang di sekitarnya juga. Mulai hari itu, ia tak hanya membangun dan memperbaiki kotak tapi juga membagikannya ke orang-orang baik yang dikenalnya maupun tidak. Ia ingin tak hanya dirinya saja yang tersenyum bahagia tapi juga orang-orang di sekitarnya.

Hujan masih tetap rahmat. Tak hujan juga rahmat. Cuaca boleh berganti. Iklim juga. Dan bersyukur apapun yang terjadi adalah cara terbaik menikmati hidup. Hujan-panas hanyalah fase.

Lambat laun ia mulai mengganti tujuan hidupnya, bukan lagi untuk membahagiakan orang lain tapi untuk mencintai Tuhan dengan membahagiakan orang lain.

Maka, apakah sama antara orang yang berpikir dengan yang tidak?

Tidak ada komentar: