Kapan tepatnya aku lupa, sejak itu aku mulai membenci
kalimat pertanyaan. Pertanyaan yang dilontarkan banyak orang kepadaku, hampir semua
yang bertemu,”Piye kuliahmu?” atau “Yo opo unairmu?”. Menarik nafas panjang dulu untuk
menjelaskannya dan aku lebih memilih tidak menjelaskan. Hanya berkata,”Aku gak
sido kuliah dobel kok”. Aku tidak ingin memberikan alasan tentang ketakutanku
sebab aku tak ingin disebut pecundang. Masa bodoh dengan Mario teguh yang
mengatakan lebih baik melangkah salah daripada harus mencari alasan untuk
berhenti karena ketakutan. Mario teguh bukan siapa2ku kok! Dia tidak mengerti
apa yang aku rasakan dimana setiap hari adalah bencana menurutku. Setiap hari
aku harus mendengarkan degupan jantungku lebih keras daripada biasanya. Setiap hari
nafasku tercekat berdoa kepada Tuhan supaya dosen ITS menyudahi kuliahnya. Setiap
hari aku harus memacu sepeda motorku lebih cepat untuk sampai di unair tepat
waktu dan kenyataannya aku selalu terlambat. Ada hari dimana aku harus
beribadah lebih cepat dari biasanya.
Dan setiap kali mereka mendengar jawabanku mereka akan
berkata,”Loh emane rek psikologi ne”. dan setiap kali itu pula aku merasa
sangat bersalah dengan keputusanku. Tahukah kawan, tanpa kalian berkata
demikian pun aku sudah merasa bersalah. Apalagi melihat tulisan di diary ku
tanggal 2 Juni 2012,”Ingin sekali kuliah psikologi. Kalok Allah mengizinkan. Kun
fayakun. Percaya saja Allah tidak akan menyesatkan hamba-Nya”. Tulisan itu
sangat sangat membuatku merasa bersalah. Merasa seperti manusia tolol yang
tidak mensyukuri karunia Tuhan. Bahkan yang membuatku lebih lebih lebih merasa
bersalah lagi adalah karena Tuhan seakan selalu memberiku jalan untuk melanjutkan
kuliah dan aku sendiri yang memutuskan untuk berhenti. Entah apa yang akan
kujawab ketika malaikat kelak akan menanyakan hal itu kepadaku, menanyakan
ketidakbersyukuranku.
Masih terekam jelas saat2 pak helmi, karyawan agip begitu terkesan
dengan perjuanganku sampai beliau mengundang aku, hajar, galih dan rizki makan
malam di rumahnya yang akhirnya kami makan malam dibayarkan dan di kos masing2.
Saat ibuknya wek ikut bangga mendengarku kuliah dobel. Saat mbak rani sms bilang
kalo dia bangga saat ditanya elita tentang kuliahku. Terlalu banyak saat yang
membuatku harus berpikir ulang lagi untuk berhenti. Tapi berulang kali itu pula
aku merasa terpenjara oleh kalimat2 pujian. Aku seperti takut orang2
mengejekku, orang2 tak lagi mau membanggakanku, orang2 tak peduli denganku. Ada
apa sebenarnya denganku? Mengapa aku haus pujian seperti ini? Apa yang
sebenarnya aku cari di dunia ini? Bukankah dunia adalah fatamorgana? Atau hanya
aku yang mengartikan dunia fatamorgana?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar