Sabtu, 22 September 2012


Kapan tepatnya aku lupa, sejak itu aku mulai membenci kalimat pertanyaan. Pertanyaan yang dilontarkan banyak orang kepadaku, hampir semua yang bertemu,”Piye kuliahmu?” atau “Yo opo unairmu?”.  Menarik nafas panjang dulu untuk menjelaskannya dan aku lebih memilih tidak menjelaskan. Hanya berkata,”Aku gak sido kuliah dobel kok”. Aku tidak ingin memberikan alasan tentang ketakutanku sebab aku tak ingin disebut pecundang. Masa bodoh dengan Mario teguh yang mengatakan lebih baik melangkah salah daripada harus mencari alasan untuk berhenti karena ketakutan. Mario teguh bukan siapa2ku kok! Dia tidak mengerti apa yang aku rasakan dimana setiap hari adalah bencana menurutku. Setiap hari aku harus mendengarkan degupan jantungku lebih keras daripada biasanya. Setiap hari nafasku tercekat berdoa kepada Tuhan supaya dosen ITS menyudahi kuliahnya. Setiap hari aku harus memacu sepeda motorku lebih cepat untuk sampai di unair tepat waktu dan kenyataannya aku selalu terlambat. Ada hari dimana aku harus beribadah lebih cepat dari biasanya.

Dan setiap kali mereka mendengar jawabanku mereka akan berkata,”Loh emane rek psikologi ne”. dan setiap kali itu pula aku merasa sangat bersalah dengan keputusanku. Tahukah kawan, tanpa kalian berkata demikian pun aku sudah merasa bersalah. Apalagi melihat tulisan di diary ku tanggal 2 Juni 2012,”Ingin sekali kuliah psikologi. Kalok Allah mengizinkan. Kun fayakun. Percaya saja Allah tidak akan menyesatkan hamba-Nya”. Tulisan itu sangat sangat membuatku merasa bersalah. Merasa seperti manusia tolol yang tidak mensyukuri karunia Tuhan. Bahkan yang membuatku lebih lebih lebih merasa bersalah lagi adalah karena Tuhan seakan selalu memberiku jalan untuk melanjutkan kuliah dan aku sendiri yang memutuskan untuk berhenti. Entah apa yang akan kujawab ketika malaikat kelak akan menanyakan hal itu kepadaku, menanyakan ketidakbersyukuranku.

Masih terekam jelas saat2 pak helmi, karyawan agip begitu terkesan dengan perjuanganku sampai beliau mengundang aku, hajar, galih dan rizki makan malam di rumahnya yang akhirnya kami makan malam dibayarkan dan di kos masing2. Saat ibuknya wek ikut bangga mendengarku kuliah dobel. Saat mbak rani sms bilang kalo dia bangga saat ditanya elita tentang kuliahku. Terlalu banyak saat yang membuatku harus berpikir ulang lagi untuk berhenti. Tapi berulang kali itu pula aku merasa terpenjara oleh kalimat2 pujian. Aku seperti takut orang2 mengejekku, orang2 tak lagi mau membanggakanku, orang2 tak peduli denganku. Ada apa sebenarnya denganku? Mengapa aku haus pujian seperti ini? Apa yang sebenarnya aku cari di dunia ini? Bukankah dunia adalah fatamorgana? Atau hanya aku yang mengartikan dunia fatamorgana?

Tidak ada komentar: