Selasa, 25 Desember 2012

Jiwa Yang Bermain Part I

Aku terlanjur untuk bermimpi dan meletakkan mimpi-mimpi dalam daftar goresan tangan berjudul buku mimpi. Dan ketika malam terlanjur larut untuk kembali menjadi senja, ketika itu pula lah aku menyadari betapa tidak berartinya mimpi dalam sebuah angan yang tidak diwujudkan dalam tindakan. Seperti pagi yang terus menerus merengek untuk bertemu bulan, seperti malam yang sangat merindukan matahari, seperti itulah aku bermimpi.

Menengok jam dinding yang melulu berdetak kemudian menutup wajah dengan bantal. Lama kelamaan aku sulit bernafas, melepaskan bantal dari wajah dan kembali terdengar detak yang menjengkelkan. Ya, aku tak pernah menyukai waktu yang terus berputar. Jika dapat, ingin sekali meminta Tuhan untuk menghentikannya tapi sayangnya tak bisa. Berdiri mencari cermin dan mulai membisikkan sesuatu kepadanya. Membisikkan cerita tentang hari ini yang melelahkan. Ketika aku mendekat, bayangan di cermin ikut mendekat,"Hey, kau sangat tidak kreatif, sudah kubilang dengarkan saja ceritaku, tidak usah dekat2". Bayangan itu ikut memaki, sama percis seperti makianku kepadanya. Tidakkah ia tahu bahwa aku sudah lelah menjadi trendsetter-nya.

Kuhembuskan nafasku dan bayangan dalam cermin menarik nafas. Kutarik nafas dalam-dalam dan bayangan dalam cermin menghembuskan nafas. Aku mulai panik. Kuambil gelas susu yang telah habis kuminum.
"Jangan mendekat, atau kau akan kuhantam gelas ini"
Dia hanya tersenyum nyinyir.
"Sudah kubilang, kau tak perlu tampak, kau hanya perlu mendengarkan ceritaku"
Dia terduduk dan siap mendengarkanku bercerita. Mulailah ceritaku tentang sebuah raksasa yang ingin menerkamku. Kuceritakan kepadanya bahwa raksasa itu sebenarnya hanya ingin mencari perhatian, bukan lapar. Raksasa sangat lemah dan ringkih hatinya. Hatinya begitu lembut, ia hanya terperangkap dalam tubuh besar. Kulihat bayangan mulai menguap.

"Apa kau bosan dengan ceritaku?", mataku mulai berair. "Kau sama seperti mereka, sama-sama tak mau mendengarkan ceritaku".

Pyarrrrrr...
Untuk kelima kalinya dalam sebulan kaca-kaca yang berada di rumah kupecahkan.

Kutunggu pintu kamarku digedor dan tak ada satu pun yang menggedornya. Kemana perginya mama dan papa? Apakah aku hanya sendirian di rumah berhantu ini? Tidak, rumah ini tidak berhantu, hanya aku yang berhalusinasi. Tapi siapa bayangan yang ada di dalam cermin?

Tanyaku keterlaluan banyaknya hingga aku terlalu lelah dan jatuh tertidur.

***
Matahari terlalu terik membangunkanku. Bergegas aku ke kamar mandi. Tapi kuurungkan niatku. Takut hantu-hantu di rumah ini menyukaiku. Aku terlanjur sadar akan hal ini.

Mama mendatangi kamarku dan menangis. Aku mengambilkannya tissu dan mengusapkan tissu itu ke wajah yang mulai mengeriput meski beliau memakai anti aging sekalipun.
"Sampai kapan kau akan terus begini, Karin? Apa yang kau butuhkan? Bicaralah!"
Aku terus memandangi wajah Mama tanpa ekspresi. Memang, aku sudah lama tidak berbicara. Berbicara kepada manusia. Ada banyak alasan yang membuatku tak mengerti tentang manusia. Dan salah satunya tentangku.
"Untuk apa Mama bekerja siang malam jika kamu akhirnya begini. Tapi Mama tak sungguh tahu bagaimana nantinya jika Mama berhenti bekerja", Mama terus menangis. "Mama sudah tak kuat Karin. Bunuhlah Mama supaya hilang beban di pundak Mama".
Butiran air mata jatuh di pipiku. Tetap saja lidahku kelu. Selalu ada alasan yang membuatku tak mengeluarkan kata-kata. Andai saja Mama tahu apa alasan itu.
 

Bersambung...

Tidak ada komentar: