Kamis, 30 Mei 2013

Kata Pengantar

Setelah lamaaaa gak ke Bungkul, akhirnya ke Bungkul juga. Tadi malam rencananya, adek2 latihan buat tampil With Care to Share (ulang tahunnya SSC). Biasanya, mereka latihan di studionya Mas Ujang. Kata Mas Indra, Mas Ujang-nya gak bisa, jadilah latihannya di Bungkul.

Datang berdua sama Hajar. Akhir-akhir ini kemana-mana sama Hajar. Ayo tebak kenapa? Karena Hajar tidak sedang sama Galih. Haha
Begitu datang, mendekat ke Pansa yang sedang bermain skateboard,"Dengaren gawe katok dowo?" tanyaku.
"Mau kate ng studione Mas Ujang tapi gak sido". Tidak lama berselang Risky menghampiriku, lari-lari kecil langsung menggandeng tanganku,"Gak oleh nandi-nandi...gak oleh nandi-nandi". Akkkkkk...mereka selalu membuatku rindu.
"Haa, kangen yo karo Mbak Tiara?" kataku PD
"Enggak. Yudi iku sing kangen"
"Ayok ayok kesana," aku menggiring mereka berkumpul dengan yang lain. Di sana ada Fira, Karina dan Yanti yang sedang berlatih membaca puisi. Yang melatih baca puisi adalah anak-anak SSC sendiri yang hebat-hebat, Mas Awan dan Mbak Anis.

Awalnya datang ke Bungkul, disuruh Mas Indra bantuin nglatih baca puisi, tapi aku juga bingung, membaca saja aku susah. Jadilah bermain-main saja. Hehe. Main sama Ami. Sayang, Ami-nya enggak nangis, padahal aku pengen liat Ami nangis. Haha

Mereka selalu membuatku punya kekuatan 10 x lipat dari biasanya. Tidak tidak. Malah bisa jadi 50 x lipat. hehe lebay.

Kemarin pas liat skripsinya Mas Indra, liat kata pengantarnya tok maksudte, ucapan terimakasih di urutan setelah orang  tua ialah nama pacarnya yang dulu yang biasa kita sebut dengan mantan. Untung aku gak punya pacar, jadi gak usahlah nyantumin nama pacar di kata pengantar Tugas Akhirku besok, iya kalo pacar jadi suami, kalo jadi mantan, trus pas punya suami, ditanya,"Sayang, kenapa namaku gak ada disitu?" sungkan kan ya sama suami. Hahaha
Sek2, intinya, besok di kata pengantarku, harus ada nama-nama adek adekku yang hebat.

Yang pertama terimakasih pada Tuhan. Kedua, orang tua dan kakak. Ketiga, Hajar sekeluarga. Keempat, sahabat-sahabatku SMA dan sahabat-sahabatku yang di Surabaya. Kelima, buat Bu Munir, warung depan kosan. Keenam, buat Bu Niniek, dosen pembimbing. Ketujuh, Tere Liye. Kedelapan, Iza, temen sekamar. Kesembilan, buat orang-orang yang sayang sama aku.

Dan pertanyaannya adalah, boleh gak sih kata pengantar tugas akhir 4 halaman gitu?kan tugas akhirnya kertas A5, kalo cuma 1-2 halaman gak cukup, apalagi aku TA gak sendirian. Pasti Maryos juga pengen nulis  kata pengantar.

Inti dari tulisan ini adalah, adek-adekku harus masuk kata pengantar. Titik. Sekian

nb: yang nulis sok2an ngrancang kata pengantar, TA-ne ae gak mari2. Hehe. Mimpi mimpi. Mimpi 107 itu namanya, Bos!

Selasa, 28 Mei 2013

Gen


“Bapakmu kan dulu pacaran sama ibuku”
“Bapakku? Sama ibumu? Kata siapa?”
“Aku dikasih tahu Bulik Erna”
“Masa sih? Bapakku kan galak, ibumu juga, masa bisa pacaran?”
Yo ndak ngerti. Kamu wis pernah pacaran?”
“Belum”
Entah mengapa aku jadi teringat percakapanku dengan Arum, adik kelas waktu SMP dulu. Ingatan yang menemaniku sms-an sama dia malam ini. Tak bertemu 8 tahun lebih, tadi siang kami masih saling kenal, bertukar nomor, dan kusapa duluan barusan. “Hai, lagi apa?” tulisku di layar hape, memilih nama “Arum SMP” dari kontak, kemudian mengirimnya. Yang dikirim membalas,”Sp?”. Perasaan kemarin nomorku sudah disimpan dalam phonebook-nya. Aku ke-ge er-an,”Ciee, yang pura-pura lupa”. Tak ada dua menit Arum membalas,”Maaf, sepertinya Anda salah nomor!”. Kelakuan Arum dari SMP tak pernah berubah, suka sekali menggodaku,”Ini Joe, Joko, nomorku belum kamu simpan? Ini Arum kan?”. Balasan kali ini lebih cepat dari sebelumnya,”Bukan, ini Linda!”. Apa? Linda? Linda siapa? Apa aku salah mencet nomor sewaktu Arum menyebutkannya tadi siang? Bodohnya. Yang pasti balasan sms Arum yang ke-3 tadi benar-benar seperti air bah yang tumpah ke taman warna-warni. Seperti rencana bermain di kepala bocah yang tiba-tiba buyar saat geledek terdengar. Hancur. “Ini Joe Joko yang sok keren itu? Teman Arum SMP? Aku Linda, sahabat Arum, ingat?”
Sejauh yang kuingat, Arum tak pernah punya sahabat bernama Linda. Lupakan, besok kalau jodoh, takdir pasti mempertemukan aku dengan Arum. Kulempar handphone ke tempat tidur, tidak usah dibalas, tak penting. “Sok keren dengkulmu” batinku dalam pejam meregang lelah. Seharian sudah letih badan dan pikiran “mengejar” dosen pembimbing Tugas Akhirku. Malam begini sakit hati, apes apa aku? Kenapa juga Pak Mukidi harus mengajar di dua kampus, sok pintar sekali. Kenapa juga Arum kuliah di kampus Pak Mukidi, sok FTV sekali. Ah, Arum lagi.
***

Minggu, 19 Mei 2013

Rumit

Ini sepenggal kisah di pagi hari. Saat semua sibuk untuk memulai rutinitasnya. Saat aku dengan riangnya menyambut teman (dibaca: bayar utang), tiba-tiba tawaku terhenti oleh tangisan teman. Lamat-lamat kudengarkan. Dia bercerita sesak, cemburu pada seseorang yang lain, teman kami. Aku ingin terbahak melihatnya menangis. Maaf. Mungkin masalah ini begitu menggelikan bagiku yang tak pernah menaruh hati begitu dalam pada seseorang.

"Aku ngerti saiki aku uduk sopo-sopone. Tapi kok kebacut ambek konco dewe", tangisnya belum berhenti juga. Padahal sang mantan sudah memberikan penjelasan.
"Teman, cinta sejati itu melepaskan...."
"Taek!", dia memotong bicaraku.
Haha. Mengapa urusan hati selalu begitu rumit. Dirumitkan atau memang benar rumit? Entahlah

Minggu, 12 Mei 2013

Dingin. Bagaimanakah menghubungkannya dengan kebahagiaan? Semoga aku bisa. Meski dingin ataupun tidak.

Sistem

Jumat kemarin, karena menunggu Mas Dodo yang berbuat apa pada motor saya yang gak tau dimana, saya memutuskan menunggu di dekat parkiran Taman Bungkul. Ada belasan Satpol PP mengusir 2 pengasong di sekitar sana. Banyak dari satpol pp yang diam. Perkiraanku banyak yang hatinya teriris-iris, melakukan yang tidak ingin dilakukan.
Dari seberang, seorang pria gendut berbaju apa saya lupa, membawa handytalky berteriak-teriak,"Suruh kesana!". Yang diteriaki berwajah bingung dengan mengusir mangu-mangu. Tertinggallah satu karung goni yang saya tak tahu isinya. Pria gendut berteriak kembali,"Buang saja!". Yang diperintah mengambil karung goni kemudian dibawa kemana lah.

Saya tak mengerti apa itu keindahan. Sungguh. Taman yang rapi? Bebas pengasong? Ah, mereka menganggap mencari uang tidak di tempatnya adalah dosa. Mereka? Satpol PP? Bukan! Pria gendut? Bukan juga! Tahulah siapa yang menyuruh pria gendut itu. Saya tak percaya jika pria gendut bertindak tidak sesuai doktrin. Doktrin dari siapa? Entahlah. Doktrin dari Tuhan kah yang menyebutkan mencari nafkah di Taman itu dilarang, membuat Taman tidak indah? Kurasa bukan. Kurasa Tuhan mereka sudah berganti. Kurasa kalian tahu "Tuhan" mereka itu siapa. Terlalu patuh. Takut jika tidak menurut akan bangkrut.

Mengapalah takut jika kita dengan sombong berbicara bahwa kita punya Tuhan? Atau jangan-jangan Tuhan sudah mengalami perluasan makna di mata kita? Nafsu kita jadikan Tuhan. Majikan kita jadikan Tuhan. Maka bagaimana seharusnya?

Baiklah, aku mulai tak mengerti

Bagaimanalah Tuhan memberiku keajaiban jika aku terus melototi yang terkadang ada yang harus lebih dipelototi. Keajaiban? Aku tahu, aku tidak boleh menergantungkan diri pada keajaiban, tapi bolehkan untuk mempercayainya? Layaknya aku percaya Tuhan itu ada, aku percaya Tuhan selalu ikut campur dalam setiap usaha dan urusanku.

Pada doa-doa malam yang ibuku selalu panjatkan, air-air yang mengalir malam-malam yang sudah jarang kukeluarkan, aku ingin sedekat dulu, supaya air-air mengalir dalam kebahagian, dada buncah keharuan, orang-orang tua memberikan jempol kepada anaknya, aku. Kemanalah seharusnya ini berlabuh jika berlayar saja jangkarku masih di dermaga.

Dekat. Diam-diam aku mendekat. Kutangkap diam-diam supaya tak lari. Jika dia mempunyai pendengaran supersonic dan menyadari kehadiranku kemudian terbang, itu bukan salahku, salahnya, mengapalah tak mau kutangkap. Maka akan kutangkap yang lain, yang sekiranya bisa kugapai, yang sekiranya Tuhan mengizinkan, yang sekiranya bapak ibu ridho. Apalah itu? Entahlah. Rencana Tuhan selalu misteri menurutku, apakah menurutmu juga begitu? Tapi dengar-dengar, kalau kita mendekat, Tuhan tak segan-segan membuka satu-persatu misterinya. Adakah yang tahu caranya? Bolehlah sekiranya berbagi denganku. Oh, kau malas komen di blog bobrok ini? Iya, sms aja. Handphone ku terlalu sederhana untuk diakses kok, jangan khawatir.

Sabtu, 11 Mei 2013

Untukmu Bapak

Bapak, aku di sini bersama Tuhan
janganlah kau khawatir
Bapak, aku di sini bersama orang-orang yang menyayangiku
janganlah kau khawatir
Bapak, setiap mahkluk ada penjaganya
janganlah kau khawatir

Jika suatu saat nanti, Bapak
malaikat meninggalkanku,
aku masih punya orang-orang yang sayang padaku
seandainya suatu saat nanti, Bapak
orang-orang mulai menjauhiku
aku masih punya Tuhan
doakan saja terus
doakan Tuhan selalu bersamaku
doakan Tuhan tak pergi dariku
doakan aku, Bapak
doakan anakmu

Terkadang, Bapak
manusia "menendangku" kasar
atau "mencubitku" dengan halus, cubitan kecil tapi pedih, membekas
tapi tak apa, Bapak
mungkin itu cara Tuhan untuk membangunkanku
mungkin mereka punggawa Tuhan untuk menjadikanku lebih hebat
Bapak, apakah aku ge-er kalau Tuhan cinta padaku?

Kemauan


Aku bingung. Tiba-tiba ada seorang kawan bilang aku orang yang berbeda. Entahlah, sampai saat ini belum kutanyakan maksudnya berbeda dalam hal apa. Jangan-jangan aku mengalami semacam kelainan hingga dikatakan berbeda. Kalo memang kelainan, kira-kira kelainan apa ya? mental apa fisik?

Beda. Bukankah memang di dunia ini setiap mahkluk diciptakan berbeda-beda, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Itu tandanya aku bukan orang special sebab aku hanyalah bagian dari perbedaan-perbedaan yang diciptakan Tuhan.
Ada penyebabnya mengapa dia bilang aku berbeda. Sorenya, kami membincangkan sesuatu. Seseorang lebih tepatnya. Seseorang yang menangis dan aku ingin tahu alasannya menangis. Sebagai seseorang dengan rasa ingin tahu yang minim, kupancing dia untuk bercerita, berharap dengan bercerita aku bisa mendengarkan ceritanya. Sebab aku pendengar, bukan peringan masalah. Yang meringankan masalah kan Tuhan.
Dari panjang cerita, akhirnya aku bertanya,”Kira-kira apa yang bisa membuatmu bersemangat kembali?”
“Aku bisa berbaur dengan teman-teman”
“Sudah kau coba?”
“Sudah. Tapi gak berhasil. Iklim mereka gak cocok denganku”
“Kamu pikir aku cocok sama mereka? Enggak. Tapi aku mencoba bisa. Kalau aku sedang butuh teman, aku gak segan-segan ikut nimbrung dengan mereka, meski akhirnya kepalaku pening. Tapi kalau aku pengen sendiri, ya aku sendiri”
“Oh, pantaslah kamu suka menyepi”
“Maksudku, kita butuh topeng!”
*kemudian aku lupa percakapan lainnya*

Maka entah kalian akan berpikir aku ini seperti apa. Bukankah setiap orang akan baik jika ada maunya dengan seseorang yang lain?
Bahkan, yang katanya seseorang suka menolong dengan tulus, bukankah dia juga ada maunya? Mau mencari ridho Allah. Kita semua terjerumus dalam suatu kemauan. Apa hakikat kemauan itu sendiri? Apakah ada tingkatannya suatu kemauan itu? kemauan yang baik atau buruk.

Yang lebih aneh adalah “teman” Maryos. Ketika aku datang hendak meminta sesuatu dia bertanya,”Ngapain kamu kesini?”
“Di sini ada ****** gak, Pak?”
“Kamu kesini kalo ada maunya ya? ha? Kamu butuh, baru kamu kesini. Kamu anggap apa tempat ini?”
Aku tersenyum.
Dia melanjutkan kalimatnya,”Kalo saya bilang ada, kamu mau apa. Kalo saya bilang gak, ada kamu mau apa?”
“Kalo ada, saya minta, kalo gak ada, yasudah”
“Sebenernya ada, tapi saya bilangnya gak ada”
“Oh yaudah”
“Enak nggak dibilang kayak gitu?”
“Biasa aja, Pak”
“Kamu gak ngerasa punya masalah ya?”
“Enggak”
“O yaudah. Tadi kamu nyari apa?”
“******”
“Iya. Itu ada, tapi saya bilang gak ada”
“Oh yaudah”

Hehe. Sebenernya gak nyambung sama percakapan sebelumnya. Tapi marilah kita sambungkan. Begini Kawan, mau, kemauan, keinginan, tujuan, menurutku hakikatnya sama. Kita melakukan sesuatu karena sebuah kemauan, keinginan atau tujuan. Manusia itu ladang nafsu sampai-sampai orang ekonomi bilang manusia itu terpenuhi kebutuhan satu muncul kebutuhan lain. Bukankah kebutuhan juga suatu kemauan, keinginan atau tujuan? Salahkah kita jika melakukan sesuatu karena suatu kebutuhan hingga ada orang bilang,”Kamu kesini kalo ada maunya saja”. Dan jawabannya,”Kalo saya gak butuh, ngapain saya kesana”. Orang datang ke warung aja karena ada maunya, dia lapar. Orang mendatangi kantor pos karena ada maunya, dia ingin mengirimkan sesuatu. Orang berbincang dengan orang lain pun ada maunya, dia ingin berbagi cerita, berbagi pengalaman, berbagi informasi. Orang cangkruk pun ada maunya, dia ingin melepas penat, ingin bertemu kawan-kawan dan lain-lain. Orang membuat lagu juga ada maunya, dia ingin yang ada di dalam pikirannya tersampaikan. Orang menyanyi ada maunya juga, dia ingin suaranya di dengar, ingin yang mendengarkan terbawa dalam emosi. Dan akhirnya, aku menulis ini pun ada maunya, aku ingin menuliskan apa yang ada dipikiranku supaya orang lain mengenalku.

Hey, kita terlalu hipokrit dengan mengatakan,”Dia datang ke aku kalau ada maunya saja”. Kita mandi saja ada maunya, mau bersih harum tidak bau dll.
Manusia itu banyak maunya memang, sampai-sampai orang-orang tua kita selalu bilang kalau jika kita di surga kelak, kita akan mendapat apa yang kita mau. Mereka mengiming-imingi kita dengan kemauan tak terbatas. Jadi apakah salah jika seseorang melakukan sesuatu karena suatu kebutuhan atau kemauan?

Jumat, 10 Mei 2013

Rantai Sepeda

Kemarin, 9 Mei 2013, dua kali rantai sepedaku lepas. Pertama pagi-pagi saat akan ke kampus. Untung ada bapak-bapak baik hati yang tiba-tiba nengok melihat motor saya berhenti mendadak.
"Kenapa, Mbak?"
"Rantainya lepas, Pak"
Si bapak menyetandar tengah sepeda, mengambil sampah yang ada di dekatnya, takut tangannya kotor mungkin.
"Go..go..go..!", kata si Bapak.
Saya hanya mengucap bismillah dalam hati. Dan selesai :)
"Ini nanti dikencangkan rantainya, Mbak!"
"Oh, iya, Pak! Terima kasih banyak"
Bapak itu kemudian meninggalkan saya yang senyum-senyum,

Allah bersama saya

Pergi sama Uti, Dira dan Iin. Lelah, kami lepas di kosan Dira dan Iin. Ngrembug sebentar, saya pergi ke rumah Mbak Anis sama Mas Indra dan Mas Andik. Sepeda lancar lah, meski agak takut-takut ngebut. Selepas dari Mbak Anis, ke kos Mas Indra dulu melanjutkan lembaran-lembaran impian. Cuma dapet beberapa lembar tok, Mas Andik cerita terus sih, saya seneng mendengarkan, jadilah bertiga nggedabrus. Saya diajari Mas Andik untuk kepo dengan akun-akun tertentu. Pantaslah kalo beliau tahu berita atau issu artis-artis, bahkan "artis-artis SSC" beliau juga kepo-in. Mas Andik, rasa ingin tahumu sungguhlah besar, saya bangga jadi temanmu!

Setelah maghrib saya ngelesi Dek Lita, ngebut. Sampai depan Unair B, lagi-lagi rantai sepeda lepas. Beruntungnya saya berhenti tepat di depan tukang tambal ban. Di sana banyak anak muda dan bapak-bapak, tapi mereka hanya memperhatikan, tidak bertanya, saya yakin mata mereka menuju rantai sepeda saya.
Bapak Tukang Tambal Ban ternyata ada di atas becak, sedang tertidur. Dibangunkan oleh bapak-bapak lain, kayaknya si bapak penjual nasi.
"Woo mbak, ininya harus sama kayak yang sebelah sini!", kata BTTB
"Hehe gak tau pak, gak mudeng saya"
"Nah, ini juga harus ada bautnya, bahaya ini Mbak"
"Hehe. Lama ya Pak?"
"Gopo ta Mbak? mau kemana?"
"Ngelesi di Pacar Keling, Pak"
"Sebentar"
"Pak, berarti gak bisa buat ngebut ya?"
"Bisa kok Mbak" BTTB ngambil kunci-kunci, mengencangkan yang kendor-kendor. Krim anti aging kalah pokoknya, gak bisa sekencang cara BTTB mengencangkan rantai sepeda saya.
"Kok AA dari mana Mbak? Cirebon ya"
"Purworejo Pak. Jawa Tengah"
"Ini Mbak. Kanan sama kiri harus sama"
"Apa jangan2 gara-gara dilepas sama tukang parkir kampus saya ya Pak? Saya telat ngeluarin sepeda soalnya"
"Nggak. Ini paling pas mbongkar sepeda lupa gak dipasang bautnya"

BTTB menyadarkan saya untuk tidak suudzon . Jadi pengen membentur-benturkan kepala di tembok. Maluuuuu...Malu udah suudzon.

"Udah Mbak"
"Berapa Pak?"
"lima ribu"
saya menyodorkan lima puluh ribuan.
"Gak ada uang lagi Pak"
"Yaudah bawa aja"
"Loalah pak, ini!"
"Bawa aja Mbak"
"Makasih ya Pak"
"Iya"
"Maturnuwun nggih, Pak"
"Iya"
"Assalamualaikum"
"Wa'alaikumsalam"

Indah. Semoga saya tidak ge-er kalo Allah benar-benar bersama saya :))

Selasa, 07 Mei 2013

Akhir-akhir ini sulit sekali mengendalikan diri. Sebentar-sebentar pusing, kemudian menyalahkan keadaan, padahal saya sendiri yang salah. Entahlah, katanya sih kesulitan pasti sesuai dengan kemampuan menghadapi si penerima masalah. Sepertinya saya bermasalah dengan diri sendiri.

Kalau ditanya kesulitan sebenarnya tidak sulit, tapi entahlah

Minggu, 05 Mei 2013

Purnama

Bocah-bocah bernyanyi di dalam kotak
meski bukan saat purnama, tetap saja indah
Entah bernyanyi entah berteriak
Hingga arteri entah vena di kepala menonjol
Hingga ingus keluar tanpa kendali
tertawa sambil menyalahkan yang lain
yang lain tak peduli
terus saja menabuh genderang
semoga yang tertulis adalah harapanku

Lari

Menyepi dan hanya berteman layar. Sepelemparan batu dari sini, perempuan dan laki2 seolah berteriak-teriak padahal mereka sedang bercerita, mencari informasi satu sama lain, memanfaatkan satu sama lain, entah mencintai satu sama lain atau tidak. Bukan tidak membutuhkan mereka, hanya saja sedang tidak ada bahan yang akan dibicarakan. Otak saya lagi sepi, semacam linglung, apalagi melihat teman2 yang terus menerus berlari.

Lari lari lari aku juga ingin berlari