“Bapakmu kan dulu
pacaran sama ibuku”
“Bapakku? Sama ibumu?
Kata siapa?”
“Aku dikasih tahu Bulik
Erna”
“Masa sih? Bapakku kan
galak, ibumu juga, masa bisa pacaran?”
“Yo ndak ngerti. Kamu wis
pernah pacaran?”
“Belum”
Entah mengapa aku jadi
teringat percakapanku dengan Arum, adik kelas waktu SMP dulu. Ingatan yang
menemaniku sms-an sama dia malam ini. Tak bertemu 8 tahun lebih, tadi siang
kami masih saling kenal, bertukar nomor, dan kusapa duluan barusan. “Hai, lagi
apa?” tulisku di layar hape, memilih
nama “Arum SMP” dari kontak, kemudian mengirimnya. Yang dikirim membalas,”Sp?”.
Perasaan kemarin nomorku sudah disimpan dalam phonebook-nya. Aku ke-ge er-an,”Ciee, yang pura-pura lupa”. Tak ada
dua menit Arum membalas,”Maaf, sepertinya Anda salah nomor!”. Kelakuan Arum
dari SMP tak pernah berubah, suka sekali menggodaku,”Ini Joe, Joko, nomorku
belum kamu simpan? Ini Arum kan?”. Balasan kali ini lebih cepat dari
sebelumnya,”Bukan, ini Linda!”. Apa? Linda? Linda siapa? Apa aku salah mencet nomor sewaktu Arum menyebutkannya
tadi siang? Bodohnya. Yang pasti balasan sms Arum yang ke-3 tadi benar-benar
seperti air bah yang tumpah ke taman warna-warni. Seperti rencana bermain di
kepala bocah yang tiba-tiba buyar saat geledek terdengar. Hancur. “Ini Joe Joko
yang sok keren itu? Teman Arum SMP? Aku Linda, sahabat Arum, ingat?”
Sejauh yang kuingat,
Arum tak pernah punya sahabat bernama Linda. Lupakan, besok kalau jodoh, takdir
pasti mempertemukan aku dengan Arum. Kulempar handphone ke tempat tidur, tidak usah dibalas, tak penting. “Sok
keren dengkulmu” batinku dalam pejam meregang lelah. Seharian sudah letih badan
dan pikiran “mengejar” dosen
pembimbing Tugas Akhirku. Malam begini sakit hati, apes apa aku? Kenapa juga Pak Mukidi harus mengajar di dua kampus,
sok pintar sekali. Kenapa juga Arum kuliah di kampus Pak Mukidi, sok FTV
sekali. Ah, Arum lagi.
***
Sudah tiga hari mataku
tak terpejam. Hidup serasa melayang-layang, aku merasa tak menginjakkan kaki di
bumi, perasaanku, sebagai lelaki aku terlalu perasa sepertinya. Dunia seakan
terbalik. Malam seperti siang, siang menyerupai malam. Jam biologiku berubah
total gara-gara tugas akhir. Botol-botol minuman berenergi terkumpul banyak di
kamarku, kopi tak mampu menemani. Aku butuh caffeine lebih banyak dari kopi.
Selesai
mandi, aku berdiri di depan cermin, wajah lelah kurang tidur. Hitam di bawah
kedua mataku semakin terlihat jelas, seperti bekas eyeliner yang tak bersih dihapus. Pagi ini aku harus menemui Pak
Mukidi. Kemarin dia sms kalau pagi ini aku ditunggunya di kampus “satunya”.
Kampus satunya, kampus Arum.
Aku
hidupkan sepeda motorku. Memanaskan mesinnya. Membayangkan Arum. Lalu mulai
memacu melewati jengkal demi jengkal jalanan Surabaya. Tetap saja Arum selama
perjalanan. Semakin dekat dengan kampus malah semakin aku berdoa supaya tak
bertemu Arum. Malu ketahuan gugupku. Sepertinya pantas jika aku tak pernah
punya pacar, bagaimana tidak, untuk bertemu dengan seseorang yang aku suka
saja, selalu tak pernah punya keberanian, memilih untuk menghindar lebih
tepatnya. Sepertinya (lagi) aku harus mengakhiri “penyakitku” ini. Maka
kuputuskan untuk bimbang. Ingin bertemu-tapi tidak. Kata bimbang sepertinya
lebih terlihat macho daripada takut,
kukira.
“Pagi
Pak Slamet!” yang disapa mengernyitkan dahi sambil memberi kartu parkir. Aku
masih tersenyum sampai tempat aku memberhentikan laju motorku. Kukatupkan
mulutku yang sejak tadi meringis. Nyangkut, kebiasaan. Bibirku nyangkut di gigi
seri. Kutarik bibir dengan tangan kemudian tersenyum manis di spion, ganteng.
Membenarkan letak poni lempar kesayanganku dan segera menjauh dari parkiran.
Di depan jalan
bercabang, harusnya aku lurus terus kemudian belok kiri ke ruangan Pak Mukidi.
Tapi aku belok kanan, ambil jalan memutar. Kalau tadi aku lurus, ada kantin di
depan, di sana aku ketemu Arum, kemarin.
Aku masuk ke ruangan
senyap didominasi warna putih, melewati bilik-bilik seperti warnet dekat
kostku, tiap bilik ada seseorang di dalamnya, dosen-dosen berwajah serius di
depan laptop. Aku berjalan pelan, bolak-balik tersenyum dan menundukkan kepala
kepada dosen-dosen yang melihatku saat melewati bilik mereka. Bilik Pak Mukidi
ada di ujung ruangan.
Pak Mukidi dengan
kepala botak separuhnya melihatku, mengangguk pelan, dan mempersilahkan duduk
dengan isyarat tangannya. Ada seorang mahasiswi di depannya, membelakangiku.
Reaksi Pak Mukidi saat melihatku tadi mengundang mahasiswi tadi ikut menoleh ke
arahku. Aku terdiam. Menelan ludah. Paras manisnya menampar muka, senyumnya
datang dengan cepat seperti gerombolan kuda liar yang berlari ke arahku,
dengkulku bergetar.
Setelah bisa sedikit
menguasai diri, aku duduk di kursi yang dipersilahkan Pak Mukidi tadi. “Cuk, kok ya Arum, Gusti. Ya Allah,”
batinku sambil sibuk membuka-buka lembar laporan. Tak ada yang kubaca. Hanya tak
berani melihat ke arah Arum.
“Ini mahasiswa
bimbingan yang Bapak bilang tadi, dari dulu bab tiga terus. Stagnan di metodologi.
Malas jangan-jangan kau?” Pak Mukidi menghardikku. Arum menoleh kearahku dengan
senyuman setengah mengejek. Ah, tidak tidak. Pasti dia tengah memuji dalam
hati, memuji kalau aku orang yang setia, sulit pindah ke lain bab yang bisa
dianalogikan sulit pindah ke lain hati.
“Makanya kalau kerja itu
tak usahlah sambil merokok. Otakmu kebanyakan karbonmonoksida, jadi sulit kan buat mikir.” mungkin Pak Mukidi
ditakdirkan untuk terus menghinaku. Yang dihina nafasnya kembang kempis tak
beraturan. Bukan, bukan gara-gara Pak Mukidi. Aku sudah bebal diejeknya setiap
kali pembimbingan.
Arum memasukkan laporan
ke dalam tasnya, menggeser tempat duduk ke belakang, aku tetap pura-pura sibuk
menunduk. “Terima kasih banyak, Pak,” katanya ke Mukidi. Sakit hati memaksaku
untuk tak sudi lagi menambahkan ‘pak’ di depan namanya.
“Semangat, Jo!” suara Arum
membuyarkan pura-pura sibukku, “Eh, Iya” kataku membalas malu-malu sambil
melihat wajah Arum yang sedang berjalan keluar bilik. Arum membalas dengan
mengeluarkan sedikit ujung lidahnya mengejekku. Manis sekali.
***
“Jo!” Arum menepuk
pundakku sesaat setelah aku keluar dari ruang dosen.
“Eh, Linda” jawabku sambil memegang pundak
yang baru saja disentuhnya.
“Ceilah, ngambek,”
balasnya sambil cekikikan, “Aku loh wis
ngerti kamu bimbingan sama Pak Mukidi, wis
ngerti bakal ketemu lagi.” sambungnya.
Ya Tuhan, Gusti
Pangeran, memang kalau jodoh tak kemana. Hatiku berbunga-bunga waktu itu.
Melupakan sukses menaklukan Mukidi sebelumnya. Kurang baik apa hari ini? Tugas
Akhirku lancar, minggu depan maju seminar, sekarang Arum mendekatkan dirinya
sendiri ke muara hatiku.
“Heh, malah melamun”
“Eh, Nggak, terus yang kemaren nomornya
siapa?
“Ya, nomorku”
Sejak itu dunia seperti
benar-benar jadi sahabat baikku. Langkah serasa semakin ringan dari ke hari.
Aku semakin dekat dengan Arum hingga kami memutuskan untuk pacaran. Maksudku
dia yang memutuskan, setelah sebelumnya selama 3 hari aku tak bisa tidur
nyenyak menunggu jawabannya. Tugas Akhirku selesai dengan baik, sebentar lagi
wisuda. Begitu juga Arum. Tapi ada satu masalah, kami belum memberitahukan
keluarga kami perihal hubungan kami.
***
Sore di Lamongan.
Setelah berhari-hari Arum mencari waktu yang tepat, akhirnya ia memilih sore hari
untuk membicarakan hubungannya dengan Joko,“Ibu masih ingat Jo?”
“Jo?
Joko maksudmu?”
“Iya,
Joko anaknya Tante Rini sama Om Arman.”
“Ngapain
dia? Gangguin kamu, ta?” Ayahnya
nimbrung dengan nada tinggi.
“Nggak
kok, Yah. Dia anak baik.” Arum membela Joko.
“Baik
kok kuliah gak lulus-lulus!” Ayah Arum masih dengan nada tingginya.
“Besok
kita wisuda bareng kok. Lagian lamanya kuliah juga nggak nentuin dia anak baik apa
enggak.” Arum masih dengan pembelaan terhadap kekasih. Ibunya diam.
Saat
yang sama aku sampaikan pada Ibu tentang hubungan kami. Lengkap dengan
bagaimana kami bisa bertemu lagi.
“Kamu
tuh baru aja nyampein kabar baik
tentang wisuda, sekarang malah nyampein kabar
buruk.” kata ibu setelah mendengar ceritaku
“Kabar
buruk gimana toh, bu?”
“Ya
itu, pacaran sama anaknya Yatik.”
“Apa
buruknya sih Bulik Yatik?”
“Embuh, lhe” ibu mengucapkannya setelah menghela nafas panjang. “Bapakmu
pasti marah.”
“Kenapa
sih, Bu?” tanyaku dengan penasaran yang tak bisa ditawar.
***
“Arek goblok kok bisa-bisanya dekat sama
anaknya Yatik sama Kusni” teriakan bapak membangunkanku di tengah malam
“Mungkin
memang jodohnya, Pak,” terdengar suara ibu berusaha menenangkan
“Jodoh
opo?” teriakan bapak terdengar lebih
keras dari sebelumnya “udah bagus keluarga mereka nyingkrih ke Lamongan.”
“Masalah
lama tuh mungkin udah saatnya
dilupakan.”
“Bagaimana
bisa lupa penghinaan keluarga Yatik ke keluargaku? Saiki yo bangkrut toh“
“Lah
iya, Pak, mungkin sekarang waktunya disambung lagi tali silaturahmi Bapak sama
Mbak Yatik”
“Enggak!” kali ini teriakan bapak lebih
keras lagi dari sebelum-sebelumnya, bahkan seumur hidupku baru kali ini aku
dengar bapak bicara sekeras itu. Aku memilih tertidur kembali. Siapa tahu
teriakan bapak cuma mimpi.
Ternyata
bukan mimpi. Di pagi yang masih buta, bapak memanggilku yang belum terlalu
sadar untuk menyadari apa yang tadi malam kudengar.
Aku
duduk di sofa ruang tamu. Antara bapak dan aku hanya dipisahkan oleh meja kaca
gelap dengan kaki-kaki dari besi. Begitupun tak sanggup menahan aura murka yang
keluar dari wajah bapak ketika menatapku.
Bapak
masih belum juga mulai bicara. Aku diam mematung, melihat bapak membuatku
benar-benar kecut, tak mungkin aku berani bicara lantang seperti jika aku
bicara dengan ibu.
Kemudian
ibu keluar dari kamarnya, duduk persis di sebelahku.
Bapak
menghisap rokok 234 yang sedari tadi tak tersentuh di asbak meja. Menariknya
dalam-dalam, kemudian menghembuskan semua asapnya. Penuh asap.
“Kamu
kalau masih dekat sama anaknya Kusni, monggo
keluar dari rumah,” kalimat pembuka dari bapak yang membuat ruangan terasa
sangat dingin, “gak usah tanya alasannya. Iki
omahku, pakai aturanku” lanjutnya.
Sepatah
katapun tak mampu kuucapkan. Wajahku memelas memberi tanda kepada ibu, ibu belalah aku.
“Sudah
turuti saja apa kata Bapakmu, menurut pada orang tua ndak ada salahnya, lhe!”
ibu ternyata mendukung bapak.
“Berikan
aku alasan mengapa aku harus menjauhi Arum, Pak!” suara kubuat setegas mungkin.
“Bapak
bilang tidak, ya tidak!” suara bapak lebih tegas lagi.
“Apa
Bapak pikir, Bapak itu Tuhan? Yang setiap perkataannya bisa menjadi kenyataan?”
aku tersenyum sinis. Bapak diam. “Kamu itu, merasa sudah besar dan benar, ha?
Tak semua hal harus kamu ketahui saat ini juga.” bapak meninggalkan aku dan ibu
terpekur. Ibu mengelus-elus punggungku.
Aku
tinggalkan ibu, masuk ke kamar, mengemasi barang-barangku, segera mungkin harus
kutinggalkan rumah ini. Kalau bapak ingin aku keluar dari rumah, tak masalah,
akan kubuktikan aku bisa.
Sebelum
keluar kamar, aku sms Arum “Aku balik Surabaya”. Lalu kumantapkan tekadku,
melangkah keluar kamar.
Ibu
berdiri tepat di depan kamarku. Tersenyum kosong. “Kamu sudah dewasa, sudah
memikirkan banyak hal. Harusnya sudah bisa menerima dan mencerna banyak hal.
Bukannya ibu sok pintar. Tapi perlu kamu tahu, lhe, hidup hanyalah barisan-barisan penyesalan, baik yang sudah
maupun yang akan. Kita hanya bisa berusaha untuk tak terlalu menyesal.
Hati-hati di Surabaya. Jangan lupa sholat, Lhe!”
Aku
menangis. Memeluk ibu. Menghirup dalam-dalam wangi ibu yang mungkin akan lama
tak kujumpai. Kucium tangan ibu. Rakus seperti bayi lapar yang melahap air
susu.
“Aku
pamit, Bu.”
***
“Jo, Ibu gak ngebolehin
aku balik Surabaya” bunyi sms dari Arum yang kubuka segera setelah sampai di
kost. Tak sabar, kutelepon Arum.
“Kamu
gak berani berbohong sedikit dengan
ibumu?” aku membuka percakapan tanpa salam.
“Tidak!” Arum menjawab
mantap.
“Ayolah!
Katamu kita harus berjuang?”
“Beri
aku waktu”
“Sampai
kapan?”
“Kau
perlu kepastian sekarang?”
“Tentu!”
“Iya.”
“Iya
apa?”
“Iya.
Aku usahakan.” suara Arum melemah, lalu tak lagi kudengar suaranya.
Kuletakkan
hape di atas meja. Menatap jauh ke
luar jendela. Campur aduk perasaanku. Apa yang baru saja kulakukan? Apa yang
akan kulakukan.
Waktu
tetap berjalan sesudahnya, hari-hari kulewati tetap dengan sms-sms dari Arum,
dan sms-sms dariku untuk Arum. Kuceritakan apa yang kudengar dari bapak di
tengah malam laknat itu. Dia ceritakan apa yang dia dengar dari buliknya.
Wisuda
tanpa kedatangan bapak dan ibu.
Aku
diterima kerja sebagai Customer Service
di sebuah perusahaan swasta, tak lama setelah kudapatkan ijazahku.
Semakin
hari sms-sms Arum semakin menunjukkan tekadnya untuk bersamaku. Mungkin dia
benar-benar butuh waktu untuk bersamaku. Sampai di suatu malam setelah kulewati
hari yang melelahkan. Sebuah sms yang
cukup panjang dari Arum mencabik pikiranku. “Besok aku ke Surabaya ya. aku
sudah usahakan cara2 baik bicara dengan ibu, tapi gak bisa. Besok pulang kerja
kamu ke warung gubeng. Ketemuan disana.”
“Pasti”,
aku segera membalas sms Arum cepat. Memikirkan banyak hal membuatku tak bisa
tidur sepanjang malam. Sepertiga malam aku baru bisa terlelap. Paginya dapat
dipastikan aku terlambat. Subuh terlambat, kantor terlambat. Bos marah.
Seharian berasa dunia mengucilkan. Lagi-lagi aku terlalu sensitif.
Aku
tak sabar menunggu petang datang. Semalam, aku merancang kalimat terbaik untuk
berbicara dengan Arum petang ini. Maka, harus diputuskan hari ini.
Dalam
dunia pikirku yang ke mana-mana, ada sosok ibu yang tersenyum, persis seperti
senyum terakhir yang beliau lemparkan padaku. Kemudian dari mulutnya keluar
lagi wejangan yang sama. Tentang penyesalan. Aku terdiam lama sekali.
Tanganku
merogoh saku mengambil hape, membuka kuncinya, masuk ke menu inbox.
Ada sms dari Arum yang masuk sekitar setengah jam yang lalu, “aku
berangkat jo”. Lama kupandang layar hape,
lampunya mati-hidup berpuluh-puluh kali, menuruti jempolku yang segera menekan keypad segera setelah lampunya mati.
Akhirnya
kubalas sms Arum, “km udah dmn? Pernah terpikir untuk apa kita lakukan ini? ini
perjuangan atau pertaruhan?”
Tak
lama hape di saku bergetar. Balasan
dari Arum. “masuk Surabaya. km kok gitu ngomongnya? Harus ada yang dikorbankan
utk suatu kebahagiaan. Kalau kita durhaka, setidaknya kita melanjutkan cinta
ibuku dan bapakmu yg harus berpisah karena keadaan. Aku tak mau dikalahkan
keadaan”. Tak kubalas smsnya kali ini. Sampai masuk lagi satu sms darinya, “Udah
di warung gubeng”.
Lemas
aku bereskan meja. Tiba-tiba aku malas keluar dari kantor. Kepalaku seperti
dibebani seluruh kursi yang ada di kantor ini. Langkahku berat menuju pintu
keluar. Tidak seperti biasanya, sore ini aku hanya menyapa seadanya kepada
teman-teman kantor.
Sepeda
motor kupacu sekenanya, silih berganti kendaraan di belakang membunyikan
klaksonnya. Aku minggir tanpa perlawanan. Melewati jalan Kertajaya kuhentikan
sepeda motorku di depan gerai pulsa. Hanya 2 menit. Kemudian melanjutkan lagi
perjalanan, menuju Gubeng. Lampu merah depan Hotel Santika menjebakku untuk
terus memandang ke arah warung yang jaraknya hanya 30 meter dari tempatku
berhenti, di sana Arum menungguku. Kendaraan-kendaraan di sekelilingku mulai
bergerak pelan. Aku menekan gas sepeda motorku mengikuti laju arus sekeliling,
melewati warung di seberang jalan yang kulalui. Sekitar 200 meter di depan, aku
harus putar balik masuk ke ruas jalan yang akan menggiringku menuju hangat
senyum Arum.
Kini,
kupacu lebih kencang sepeda motorku. Semakin dekat dengan belokan putar balik
itu. Namun tak kuasa genggaman tangan kananku melonggar untuk mengurangi laju.
Aku terus memacu semakin kencang melewati putar balik, melewati jalan menuju
warung, melewati Arum. Meninggalkan mereka semakin jauh di belakang.
***
“Ada banyak hati yang
tersakiti jika kita bersama. Hati orang-orang yang menyayangi kita, hati
orang-orang yang kita sayang. Maaf” sms itu kutulis di kamarku. Kemudian
mengirimnya ke Arum. Sejenak memastikan pesan itu terkirim. Setelah yakin benar
pesan itu terkirim, kumatikan hape-ku, membuka tutup belakangnya, mengganti sim card lama dengan sim card baru yang kubeli di Kertajaya
tadi.
Kalau
aku dan Arum pun tak sanggup menyambung cerita cinta antara ayahku dan ibunya,
antara keluargaku dan keluarganya, mungkin kelak anak-anak kami sanggup.
Mungkin
kelak salah satu anakku akan terlibat suatu pembicaraan masa kecil dengan salah
satu anaknya. “Ibumu loh pernah
pacaran sama bapakku”. Di siang panas sepulang sekolah, di bawah pohon di
pinggir tambak, di Cerme, Gresik, kampung halaman kami. Itu doaku, Gusti.
Ditulis bersama Indra Setiawan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar