Selasa, 28 Mei 2013

Gen


“Bapakmu kan dulu pacaran sama ibuku”
“Bapakku? Sama ibumu? Kata siapa?”
“Aku dikasih tahu Bulik Erna”
“Masa sih? Bapakku kan galak, ibumu juga, masa bisa pacaran?”
Yo ndak ngerti. Kamu wis pernah pacaran?”
“Belum”
Entah mengapa aku jadi teringat percakapanku dengan Arum, adik kelas waktu SMP dulu. Ingatan yang menemaniku sms-an sama dia malam ini. Tak bertemu 8 tahun lebih, tadi siang kami masih saling kenal, bertukar nomor, dan kusapa duluan barusan. “Hai, lagi apa?” tulisku di layar hape, memilih nama “Arum SMP” dari kontak, kemudian mengirimnya. Yang dikirim membalas,”Sp?”. Perasaan kemarin nomorku sudah disimpan dalam phonebook-nya. Aku ke-ge er-an,”Ciee, yang pura-pura lupa”. Tak ada dua menit Arum membalas,”Maaf, sepertinya Anda salah nomor!”. Kelakuan Arum dari SMP tak pernah berubah, suka sekali menggodaku,”Ini Joe, Joko, nomorku belum kamu simpan? Ini Arum kan?”. Balasan kali ini lebih cepat dari sebelumnya,”Bukan, ini Linda!”. Apa? Linda? Linda siapa? Apa aku salah mencet nomor sewaktu Arum menyebutkannya tadi siang? Bodohnya. Yang pasti balasan sms Arum yang ke-3 tadi benar-benar seperti air bah yang tumpah ke taman warna-warni. Seperti rencana bermain di kepala bocah yang tiba-tiba buyar saat geledek terdengar. Hancur. “Ini Joe Joko yang sok keren itu? Teman Arum SMP? Aku Linda, sahabat Arum, ingat?”
Sejauh yang kuingat, Arum tak pernah punya sahabat bernama Linda. Lupakan, besok kalau jodoh, takdir pasti mempertemukan aku dengan Arum. Kulempar handphone ke tempat tidur, tidak usah dibalas, tak penting. “Sok keren dengkulmu” batinku dalam pejam meregang lelah. Seharian sudah letih badan dan pikiran “mengejar” dosen pembimbing Tugas Akhirku. Malam begini sakit hati, apes apa aku? Kenapa juga Pak Mukidi harus mengajar di dua kampus, sok pintar sekali. Kenapa juga Arum kuliah di kampus Pak Mukidi, sok FTV sekali. Ah, Arum lagi.
***


Sudah tiga hari mataku tak terpejam. Hidup serasa melayang-layang, aku merasa tak menginjakkan kaki di bumi, perasaanku, sebagai lelaki aku terlalu perasa sepertinya. Dunia seakan terbalik. Malam seperti siang, siang menyerupai malam. Jam biologiku berubah total gara-gara tugas akhir. Botol-botol minuman berenergi terkumpul banyak di kamarku, kopi tak mampu menemani. Aku butuh caffeine lebih banyak dari kopi.
            Selesai mandi, aku berdiri di depan cermin, wajah lelah kurang tidur. Hitam di bawah kedua mataku semakin terlihat jelas, seperti bekas eyeliner yang tak bersih dihapus. Pagi ini aku harus menemui Pak Mukidi. Kemarin dia sms kalau pagi ini aku ditunggunya di kampus “satunya”. Kampus satunya, kampus Arum.
            Aku hidupkan sepeda motorku. Memanaskan mesinnya. Membayangkan Arum. Lalu mulai memacu melewati jengkal demi jengkal jalanan Surabaya. Tetap saja Arum selama perjalanan. Semakin dekat dengan kampus malah semakin aku berdoa supaya tak bertemu Arum. Malu ketahuan gugupku. Sepertinya pantas jika aku tak pernah punya pacar, bagaimana tidak, untuk bertemu dengan seseorang yang aku suka saja, selalu tak pernah punya keberanian, memilih untuk menghindar lebih tepatnya. Sepertinya (lagi) aku harus mengakhiri “penyakitku” ini. Maka kuputuskan untuk bimbang. Ingin bertemu-tapi tidak. Kata bimbang sepertinya lebih terlihat macho daripada takut, kukira.
        “Pagi Pak Slamet!” yang disapa mengernyitkan dahi sambil memberi kartu parkir. Aku masih tersenyum sampai tempat aku memberhentikan laju motorku. Kukatupkan mulutku yang sejak tadi meringis. Nyangkut, kebiasaan. Bibirku nyangkut di gigi seri. Kutarik bibir dengan tangan kemudian tersenyum manis di spion, ganteng. Membenarkan letak poni lempar kesayanganku dan segera menjauh dari parkiran.
       Di depan jalan bercabang, harusnya aku lurus terus kemudian belok kiri ke ruangan Pak Mukidi. Tapi aku belok kanan, ambil jalan memutar. Kalau tadi aku lurus, ada kantin di depan, di sana aku ketemu Arum, kemarin.
       Aku masuk ke ruangan senyap didominasi warna putih, melewati bilik-bilik seperti warnet dekat kostku, tiap bilik ada seseorang di dalamnya, dosen-dosen berwajah serius di depan laptop. Aku berjalan pelan, bolak-balik tersenyum dan menundukkan kepala kepada dosen-dosen yang melihatku saat melewati bilik mereka. Bilik Pak Mukidi ada di ujung ruangan.
      Pak Mukidi dengan kepala botak separuhnya melihatku, mengangguk pelan, dan mempersilahkan duduk dengan isyarat tangannya. Ada seorang mahasiswi di depannya, membelakangiku. Reaksi Pak Mukidi saat melihatku tadi mengundang mahasiswi tadi ikut menoleh ke arahku. Aku terdiam. Menelan ludah. Paras manisnya menampar muka, senyumnya datang dengan cepat seperti gerombolan kuda liar yang berlari ke arahku, dengkulku bergetar.
Setelah bisa sedikit menguasai diri, aku duduk di kursi yang dipersilahkan Pak Mukidi tadi. “Cuk, kok ya Arum, Gusti. Ya Allah,” batinku sambil sibuk membuka-buka lembar laporan. Tak ada yang kubaca. Hanya tak berani melihat ke arah Arum.
“Ini mahasiswa bimbingan yang Bapak bilang tadi, dari dulu bab tiga terus. Stagnan di metodologi. Malas jangan-jangan kau?” Pak Mukidi menghardikku. Arum menoleh kearahku dengan senyuman setengah mengejek. Ah, tidak tidak. Pasti dia tengah memuji dalam hati, memuji kalau aku orang yang setia, sulit pindah ke lain bab yang bisa dianalogikan sulit pindah ke lain hati.
“Makanya kalau kerja itu tak usahlah sambil merokok. Otakmu kebanyakan karbonmonoksida, jadi sulit kan buat mikir.” mungkin Pak Mukidi ditakdirkan untuk terus menghinaku. Yang dihina nafasnya kembang kempis tak beraturan. Bukan, bukan gara-gara Pak Mukidi. Aku sudah bebal diejeknya setiap kali pembimbingan.
Arum memasukkan laporan ke dalam tasnya, menggeser tempat duduk ke belakang, aku tetap pura-pura sibuk menunduk. “Terima kasih banyak, Pak,” katanya ke Mukidi. Sakit hati memaksaku untuk tak sudi lagi menambahkan ‘pak’ di depan namanya.
“Semangat, Jo!” suara Arum membuyarkan pura-pura sibukku, “Eh, Iya” kataku membalas malu-malu sambil melihat wajah Arum yang sedang berjalan keluar bilik. Arum membalas dengan mengeluarkan sedikit ujung lidahnya mengejekku. Manis sekali.
***
“Jo!” Arum menepuk pundakku sesaat setelah aku keluar dari ruang dosen.
“Eh, Linda” jawabku sambil memegang pundak yang baru saja disentuhnya.
“Ceilah, ngambek,” balasnya sambil cekikikan, “Aku loh wis ngerti kamu bimbingan sama Pak Mukidi, wis ngerti bakal ketemu lagi.” sambungnya.
Ya Tuhan, Gusti Pangeran, memang kalau jodoh tak kemana. Hatiku berbunga-bunga waktu itu. Melupakan sukses menaklukan Mukidi sebelumnya. Kurang baik apa hari ini? Tugas Akhirku lancar, minggu depan maju seminar, sekarang Arum mendekatkan dirinya sendiri ke muara hatiku.
“Heh, malah melamun”
“Eh, Nggak, terus yang kemaren nomornya siapa?
“Ya, nomorku”
Sejak itu dunia seperti benar-benar jadi sahabat baikku. Langkah serasa semakin ringan dari ke hari. Aku semakin dekat dengan Arum hingga kami memutuskan untuk pacaran. Maksudku dia yang memutuskan, setelah sebelumnya selama 3 hari aku tak bisa tidur nyenyak menunggu jawabannya. Tugas Akhirku selesai dengan baik, sebentar lagi wisuda. Begitu juga Arum. Tapi ada satu masalah, kami belum memberitahukan keluarga kami perihal hubungan kami.
***
Sore di Lamongan. Setelah berhari-hari Arum mencari waktu yang tepat, akhirnya ia memilih sore hari untuk membicarakan hubungannya dengan Joko,“Ibu masih ingat Jo?”
            “Jo? Joko maksudmu?”
            “Iya, Joko anaknya Tante Rini sama Om Arman.”
            “Ngapain dia? Gangguin kamu, ta?” Ayahnya nimbrung dengan nada tinggi.
            “Nggak kok, Yah. Dia anak baik.” Arum membela Joko.
            “Baik kok kuliah gak lulus-lulus!” Ayah Arum masih dengan nada tingginya.
           “Besok kita wisuda bareng kok. Lagian lamanya kuliah juga nggak nentuin dia anak baik apa enggak.” Arum masih dengan pembelaan terhadap kekasih. Ibunya diam.

            Saat yang sama aku sampaikan pada Ibu tentang hubungan kami. Lengkap dengan bagaimana kami bisa bertemu lagi.
            “Kamu tuh baru aja nyampein kabar baik tentang wisuda, sekarang malah nyampein kabar buruk.” kata ibu setelah mendengar ceritaku
            “Kabar buruk  gimana toh, bu?”
            “Ya itu, pacaran sama anaknya Yatik.”
            “Apa buruknya sih Bulik Yatik?”
            “Embuh, lhe” ibu mengucapkannya setelah menghela nafas panjang. “Bapakmu pasti marah.”
            “Kenapa sih, Bu?” tanyaku dengan penasaran yang tak bisa ditawar.
***
      “Arek goblok kok bisa-bisanya dekat sama anaknya Yatik sama Kusni” teriakan bapak membangunkanku di tengah malam
            “Mungkin memang jodohnya, Pak,” terdengar suara ibu berusaha menenangkan
            “Jodoh opo?” teriakan bapak terdengar lebih keras dari sebelumnya “udah bagus keluarga mereka nyingkrih ke Lamongan.”
            “Masalah lama tuh mungkin udah saatnya dilupakan.”
            “Bagaimana bisa lupa penghinaan keluarga Yatik ke keluargaku? Saiki yo bangkrut toh
            “Lah iya, Pak, mungkin sekarang waktunya disambung lagi tali silaturahmi Bapak sama Mbak Yatik”
            “Enggak!” kali ini teriakan bapak lebih keras lagi dari sebelum-sebelumnya, bahkan seumur hidupku baru kali ini aku dengar bapak bicara sekeras itu. Aku memilih tertidur kembali. Siapa tahu teriakan bapak cuma mimpi.
            Ternyata bukan mimpi. Di pagi yang masih buta, bapak memanggilku yang belum terlalu sadar untuk menyadari apa yang tadi malam kudengar.
          Aku duduk di sofa ruang tamu. Antara bapak dan aku hanya dipisahkan oleh meja kaca gelap dengan kaki-kaki dari besi. Begitupun tak sanggup menahan aura murka yang keluar dari wajah bapak ketika menatapku.
            Bapak masih belum juga mulai bicara. Aku diam mematung, melihat bapak membuatku benar-benar kecut, tak mungkin aku berani bicara lantang seperti jika aku bicara dengan ibu.
            Kemudian ibu keluar dari kamarnya, duduk persis di sebelahku.
           Bapak menghisap rokok 234 yang sedari tadi tak tersentuh di asbak meja. Menariknya dalam-dalam, kemudian menghembuskan semua asapnya. Penuh asap.
            “Kamu kalau masih dekat sama anaknya Kusni, monggo keluar dari rumah,” kalimat pembuka dari bapak yang membuat ruangan terasa sangat dingin, “gak usah tanya alasannya. Iki omahku, pakai aturanku” lanjutnya.
            Sepatah katapun tak mampu kuucapkan. Wajahku memelas memberi tanda kepada ibu, ibu belalah aku.
            “Sudah turuti saja apa kata Bapakmu, menurut pada orang tua ndak ada salahnya, lhe!” ibu ternyata mendukung bapak.
            “Berikan aku alasan mengapa aku harus menjauhi Arum, Pak!” suara kubuat setegas mungkin.
            “Bapak bilang tidak, ya tidak!” suara bapak lebih tegas lagi.
       “Apa Bapak pikir, Bapak itu Tuhan? Yang setiap perkataannya bisa menjadi kenyataan?” aku tersenyum sinis. Bapak diam. “Kamu itu, merasa sudah besar dan benar, ha? Tak semua hal harus kamu ketahui saat ini juga.” bapak meninggalkan aku dan ibu terpekur. Ibu mengelus-elus punggungku.
         Aku tinggalkan ibu, masuk ke kamar, mengemasi barang-barangku, segera mungkin harus kutinggalkan rumah ini. Kalau bapak ingin aku keluar dari rumah, tak masalah, akan kubuktikan aku bisa.
          Sebelum keluar kamar, aku sms Arum “Aku balik Surabaya”. Lalu kumantapkan tekadku, melangkah keluar kamar.
            Ibu berdiri tepat di depan kamarku. Tersenyum kosong. “Kamu sudah dewasa, sudah memikirkan banyak hal. Harusnya sudah bisa menerima dan mencerna banyak hal. Bukannya ibu sok pintar. Tapi perlu kamu tahu, lhe, hidup hanyalah barisan-barisan penyesalan, baik yang sudah maupun yang akan. Kita hanya bisa berusaha untuk tak terlalu menyesal. Hati-hati di Surabaya. Jangan lupa sholat, Lhe!”
        Aku menangis. Memeluk ibu. Menghirup dalam-dalam wangi ibu yang mungkin akan lama tak kujumpai. Kucium tangan ibu. Rakus seperti bayi lapar yang melahap air susu.
            “Aku pamit, Bu.”
***
“Jo, Ibu gak ngebolehin aku balik Surabaya” bunyi sms dari Arum yang kubuka segera setelah sampai di kost. Tak sabar, kutelepon Arum.
            “Kamu gak berani berbohong sedikit dengan ibumu?” aku membuka percakapan tanpa salam.
“Tidak!” Arum menjawab mantap.
            “Ayolah! Katamu kita harus berjuang?”
            “Beri aku waktu”
            “Sampai kapan?”
            “Kau perlu kepastian sekarang?”
            “Tentu!”
            “Iya.”
            “Iya apa?”
            “Iya. Aku usahakan.” suara Arum melemah, lalu tak lagi kudengar suaranya.
            Kuletakkan hape di atas meja. Menatap jauh ke luar jendela. Campur aduk perasaanku. Apa yang baru saja kulakukan? Apa yang akan kulakukan.
            Waktu tetap berjalan sesudahnya, hari-hari kulewati tetap dengan sms-sms dari Arum, dan sms-sms dariku untuk Arum. Kuceritakan apa yang kudengar dari bapak di tengah malam laknat itu. Dia ceritakan apa yang dia dengar dari buliknya.
            Wisuda tanpa kedatangan bapak dan ibu.
       Aku diterima kerja sebagai Customer Service di sebuah perusahaan swasta, tak lama setelah kudapatkan ijazahku.
            Semakin hari sms-sms Arum semakin menunjukkan tekadnya untuk bersamaku. Mungkin dia benar-benar butuh waktu untuk bersamaku. Sampai di suatu malam setelah kulewati hari yang  melelahkan. Sebuah sms yang cukup panjang dari Arum mencabik pikiranku. “Besok aku ke Surabaya ya. aku sudah usahakan cara2 baik bicara dengan ibu, tapi gak bisa. Besok pulang kerja kamu ke warung gubeng. Ketemuan disana.”
            “Pasti”, aku segera membalas sms Arum cepat. Memikirkan banyak hal membuatku tak bisa tidur sepanjang malam. Sepertiga malam aku baru bisa terlelap. Paginya dapat dipastikan aku terlambat. Subuh terlambat, kantor terlambat. Bos marah. Seharian berasa dunia mengucilkan. Lagi-lagi aku terlalu sensitif.
            Aku tak sabar menunggu petang datang. Semalam, aku merancang kalimat terbaik untuk berbicara dengan Arum petang ini. Maka, harus diputuskan hari ini.
            Dalam dunia pikirku yang ke mana-mana, ada sosok ibu yang tersenyum, persis seperti senyum terakhir yang beliau lemparkan padaku. Kemudian dari mulutnya keluar lagi wejangan yang sama. Tentang penyesalan. Aku terdiam lama sekali.
            Tanganku merogoh saku mengambil hape, membuka kuncinya, masuk ke menu inbox.  Ada sms dari Arum yang masuk sekitar setengah jam yang lalu, “aku berangkat jo”. Lama kupandang layar hape, lampunya mati-hidup berpuluh-puluh kali, menuruti jempolku yang segera menekan keypad segera setelah lampunya mati.
         Akhirnya kubalas sms Arum, “km udah dmn? Pernah terpikir untuk apa kita lakukan ini? ini perjuangan atau pertaruhan?”
        Tak lama hape di saku bergetar. Balasan dari Arum. “masuk Surabaya. km kok gitu ngomongnya? Harus ada yang dikorbankan utk suatu kebahagiaan. Kalau kita durhaka, setidaknya kita melanjutkan cinta ibuku dan bapakmu yg harus berpisah karena keadaan. Aku tak mau dikalahkan keadaan”. Tak kubalas smsnya kali ini. Sampai masuk lagi satu sms darinya, “Udah di warung gubeng”.
           Lemas aku bereskan meja. Tiba-tiba aku malas keluar dari kantor. Kepalaku seperti dibebani seluruh kursi yang ada di kantor ini. Langkahku berat menuju pintu keluar. Tidak seperti biasanya, sore ini aku hanya menyapa seadanya kepada teman-teman kantor.
            Sepeda motor kupacu sekenanya, silih berganti kendaraan di belakang membunyikan klaksonnya. Aku minggir tanpa perlawanan. Melewati jalan Kertajaya kuhentikan sepeda motorku di depan gerai pulsa. Hanya 2 menit. Kemudian melanjutkan lagi perjalanan, menuju Gubeng. Lampu merah depan Hotel Santika menjebakku untuk terus memandang ke arah warung yang jaraknya hanya 30 meter dari tempatku berhenti, di sana Arum menungguku. Kendaraan-kendaraan di sekelilingku mulai bergerak pelan. Aku menekan gas sepeda motorku mengikuti laju arus sekeliling, melewati warung di seberang jalan yang kulalui. Sekitar 200 meter di depan, aku harus putar balik masuk ke ruas jalan yang akan menggiringku menuju hangat senyum Arum.
            Kini, kupacu lebih kencang sepeda motorku. Semakin dekat dengan belokan putar balik itu. Namun tak kuasa genggaman tangan kananku melonggar untuk mengurangi laju. Aku terus memacu semakin kencang melewati putar balik, melewati jalan menuju warung, melewati Arum. Meninggalkan mereka semakin jauh di belakang.
***
“Ada banyak hati yang tersakiti jika kita bersama. Hati orang-orang yang menyayangi kita, hati orang-orang yang kita sayang. Maaf” sms itu kutulis di kamarku. Kemudian mengirimnya ke Arum. Sejenak memastikan pesan itu terkirim. Setelah yakin benar pesan itu terkirim, kumatikan hape-ku, membuka tutup belakangnya, mengganti sim card lama dengan sim card baru yang kubeli di Kertajaya tadi.
            Kalau aku dan Arum pun tak sanggup menyambung cerita cinta antara ayahku dan ibunya, antara keluargaku dan keluarganya, mungkin kelak anak-anak kami sanggup.
            Mungkin kelak salah satu anakku akan terlibat suatu pembicaraan masa kecil dengan salah satu anaknya. “Ibumu loh pernah pacaran sama bapakku”. Di siang panas sepulang sekolah, di bawah pohon di pinggir tambak, di Cerme, Gresik, kampung halaman kami. Itu doaku, Gusti.

Ditulis bersama Indra Setiawan
            

Tidak ada komentar: