Guru adalah seseorang yang dianggap pintar oleh
murid-muridnya. Menjadi guru bukanlah hal yang mudah. Menghadapi murid-murid
dari beragam karakter memerlukan suatu keahlian khusus. Meski keahlian ini
dapat diasah, akankah melulu seorang guru berasal dari orang yang biasa-biasa
saja.
Coba kita cermati, orang terpintar di sekolah kita, kuliah
jurusan apa? Dapat dipastikan mereka-mereka yang menempati rangking-rangking
atas di sekolah, rata-rata kuliah dokter, teknik, psikologi, komunikasi dan
jurusan mentereng lainnya. Bukannya saya menyebut jurusan pendidikan tidak
mentereng tapi beginilah kenyataannya, semacam prestige bila orang tua bisa menjadikan anaknya seorang dokter. Bahkan
media pun mendukung hal ini, mereka akan mengangkat kisah seorang anak jenius
dari keluarga kurang mampu yang mendapatkan beasiswa pendidikan dokter, bukan
seorang guru. Dan pertanyaan yang muncul adalah seburuk apakah citra pendidikan
guru di Indonesia? Kini, guru sudah menjadi primadona banyak lulusan sekolah
menengah atas. Tapi tetap saja, mereka yang berperingkat baik, memilih untuk
tidak menjadi guru.
Bisa karena biasa. Semua bisa jadi guru. Tapi pernahkah kamu
bayangkan jika orang-orang yang menempati peringkat tertinggi di sekolahan menjadi
guru? Bisa jadi muridnya akan hebat-hebat. Dengan tidak merendahkan kualitas
guru saat ini, dengan guru-guru yang sekarang pun tercipta generasi-generasi
yang hebat. Terbukti dengan mendapatnya medali di olimpiade tingkat
internasional.
Bukankah menjadi seorang guru adalah pekerjaan yang mulia? Memang
suatu pekerjaan tidak dapat dipaksakan. Tidak mungkin juga semua lulusan SMA
menjadi guru. Tapi mengapakah menjadi guru tidak disejajarkan stratanya dengan
dokter? Soal mengabdi, guru pengabdi nomor 1. Rata-rata dari kita mulai sekolah
umur 5 tahun. Lihatlah anak umur 5 tahun, ajarilah dia membaca dan menulis. Susahnya
minta ampun. Dan saya rasa hanya guru lah yang mampu. Orang tua kita memang
tempat belajar pertama kali, tapi mereka lebih mempercayakan anaknya kepada
sekolah-sekolah, khususnya kepada guru. Bisa dibayangkan bagaimana kesabaran
seorang guru selalu tidak dianggap oleh kita. Dengan mudahnya kita melupakan
guru TK dan SD kita. Padahal yang membuka mata kita untuk dapat membaca deret
demi deret huruf, mengartikan kata demi kata dan menerjemahkan maksud
angka-angka adalah guru. Walaupun seorang guru hanyalah fasilitator untuk
belajar, jangan pernah menganggap remeh seorang guru. Dengannya kita belajar
untuk membuka dunia.
Hanya satu yang tidak kita dapatkan dari bangku-bangku
sekolahan, pelajaran hidup. Tidak semua guru mau mengajarkan pelajaran hidup
kepada murid-muridnya. Ini yang tidak pernah bisa dipelajari di sekolahan. Andai
kurikulum menetapkan bahwa pelajaran hidup menjadi satu bagian penting dalam
pembelajaran, mungkin koruptor di Indonesia tidak akan sebanyak saat ini. Meski
hidup sangatlah sulit untuk dipelajari, tapi tidak ada salahnya bukan untuk
menerapkan pelajaran ini sebagai pelajaran wajib. Yang sangat lebih disayangkan
adalah ketika kita memasuki dunia perkuliahan. Tidak ada pelajaran tata krama. Sadar
atau tidak kita telah melupakan tata krama setelah kita lulus sekolah dasar. Harusnya
tata krama memanglah dasar untuk kita berkehidupan, tetapi bukankah banyak juga
mahasiswa yang moralnya perlu dibenahi? Ini juga salah satu cara untuk
mengurangi koruptor. Apa korelasi tata krama dengan korupsi? Tata krama
mengajarkan kita untuk tidak menerima yang bukan haknya, mengatur apa yang
harus kita lakukan jika menerima apa yang seharusnya tidak kita terima. Atau mungkin
sistem pendidikan di Indonesia sudah mengira bahwa moral dan tata krama
siswa-siswi Indonesia sudah sempurna sehingga mereka tak lagi perlu
memberikannya sebagai pelajaran. Tapi bagaimana dengan kenyataannya? Jangan serahkan
rumput yang bergoyang untuk menjawab. Ini tanggung jawab kita bersama, bangsa
Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar