Senin, 12 November 2012

Antara Prestige Guru sampai Pelajaran Moral


Guru adalah seseorang yang dianggap pintar oleh murid-muridnya. Menjadi guru bukanlah hal yang mudah. Menghadapi murid-murid dari beragam karakter memerlukan suatu keahlian khusus. Meski keahlian ini dapat diasah, akankah melulu seorang guru berasal dari orang yang biasa-biasa saja.
Coba kita cermati, orang terpintar di sekolah kita, kuliah jurusan apa? Dapat dipastikan mereka-mereka yang menempati rangking-rangking atas di sekolah, rata-rata kuliah dokter, teknik, psikologi, komunikasi dan jurusan mentereng lainnya. Bukannya saya menyebut jurusan pendidikan tidak mentereng tapi beginilah kenyataannya, semacam prestige bila orang tua bisa menjadikan anaknya seorang dokter. Bahkan media pun mendukung hal ini, mereka akan mengangkat kisah seorang anak jenius dari keluarga kurang mampu yang mendapatkan beasiswa pendidikan dokter, bukan seorang guru. Dan pertanyaan yang muncul adalah seburuk apakah citra pendidikan guru di Indonesia? Kini, guru sudah menjadi primadona banyak lulusan sekolah menengah atas. Tapi tetap saja, mereka yang berperingkat baik, memilih untuk tidak menjadi guru.
Bisa karena biasa. Semua bisa jadi guru. Tapi pernahkah kamu bayangkan jika orang-orang yang menempati peringkat tertinggi di sekolahan menjadi guru? Bisa jadi muridnya akan hebat-hebat. Dengan tidak merendahkan kualitas guru saat ini, dengan guru-guru yang sekarang pun tercipta generasi-generasi yang hebat. Terbukti dengan mendapatnya medali di olimpiade tingkat internasional.
Bukankah menjadi seorang guru adalah pekerjaan yang mulia? Memang suatu pekerjaan tidak dapat dipaksakan. Tidak mungkin juga semua lulusan SMA menjadi guru. Tapi mengapakah menjadi guru tidak disejajarkan stratanya dengan dokter? Soal mengabdi, guru pengabdi nomor 1. Rata-rata dari kita mulai sekolah umur 5 tahun. Lihatlah anak umur 5 tahun, ajarilah dia membaca dan menulis. Susahnya minta ampun. Dan saya rasa hanya guru lah yang mampu. Orang tua kita memang tempat belajar pertama kali, tapi mereka lebih mempercayakan anaknya kepada sekolah-sekolah, khususnya kepada guru. Bisa dibayangkan bagaimana kesabaran seorang guru selalu tidak dianggap oleh kita. Dengan mudahnya kita melupakan guru TK dan SD kita. Padahal yang membuka mata kita untuk dapat membaca deret demi deret huruf, mengartikan kata demi kata dan menerjemahkan maksud angka-angka adalah guru. Walaupun seorang guru hanyalah fasilitator untuk belajar, jangan pernah menganggap remeh seorang guru. Dengannya kita belajar untuk membuka dunia.
Hanya satu yang tidak kita dapatkan dari bangku-bangku sekolahan, pelajaran hidup. Tidak semua guru mau mengajarkan pelajaran hidup kepada murid-muridnya. Ini yang tidak pernah bisa dipelajari di sekolahan. Andai kurikulum menetapkan bahwa pelajaran hidup menjadi satu bagian penting dalam pembelajaran, mungkin koruptor di Indonesia tidak akan sebanyak saat ini. Meski hidup sangatlah sulit untuk dipelajari, tapi tidak ada salahnya bukan untuk menerapkan pelajaran ini sebagai pelajaran wajib. Yang sangat lebih disayangkan adalah ketika kita memasuki dunia perkuliahan. Tidak ada pelajaran tata krama. Sadar atau tidak kita telah melupakan tata krama setelah kita lulus sekolah dasar. Harusnya tata krama memanglah dasar untuk kita berkehidupan, tetapi bukankah banyak juga mahasiswa yang moralnya perlu dibenahi? Ini juga salah satu cara untuk mengurangi koruptor. Apa korelasi tata krama dengan korupsi? Tata krama mengajarkan kita untuk tidak menerima yang bukan haknya, mengatur apa yang harus kita lakukan jika menerima apa yang seharusnya tidak kita terima. Atau mungkin sistem pendidikan di Indonesia sudah mengira bahwa moral dan tata krama siswa-siswi Indonesia sudah sempurna sehingga mereka tak lagi perlu memberikannya sebagai pelajaran. Tapi bagaimana dengan kenyataannya? Jangan serahkan rumput yang bergoyang untuk menjawab. Ini tanggung jawab kita bersama, bangsa Indonesia

Tidak ada komentar: