Pemimpi kembali goyah. Ia tak tahu harus berbuat apa ketika harapan tak sesuai kenyataan. Bukankah kesedihan adalah pertanda keputusasaan? Maka jika harus memilih, ia tetap memilih bersedih. Menangisi satu pintu kesempatan yang tertutup. Berlama-lama mengetuk pintu tersebut, meneriaki orang yang di dalamnya bahkan ia mencoba mendobrak pintu. Pintu terbuat dari baja kokoh yang tak bisa ia dobrak. Ia terus berdoa kepada Tuhan. Pikirnya tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan. Ia lupa. Sungguh lupa. Tuhan tak suka di dikte. Semua kejadian adalah sesuai yang tertulis.
Doa-doa terbaik apakah mampu meluluhkan Tuhan?
Ya, dia mengeluh kepada Tuhan. Memang, Tuhan sebaik-baik penolong. Tapi sayang, Tuhan hanya dijadikan pelariannya disaat Tuhan memberinya ujian. Mana ada sembahyang saat Tuhan mengujinya dengan kesenangan. Tak ada. Air mata mengering. Dengan congkak berjalan di muka bumi sambil berseru kebaikan tapi sendirinya menyeleweng. Perilaku orang munafik.
Maka di sepertiga malam ia kembali, sumber air matanya ialah hati. Tuhan mengujinya dengan kesedihan. Ia malu. Malu sekali. Maka sebab kemaluannya itu ia memutuskan tak berdoa. Ia bingung. Bingung sekali. Bingung akan berdoa apa.
Tobatnya bak makan sambal, tahu jika makan sambal kepedasan dan membuat perut sakit. Tapi setelah sembuh dari sakit ia akan makan sambal lagi.
Maukah Tuhan memaafkan setelah ia berbuat sedemikian rupa?
Dia bertanya tentang jawaban. Mengapa semua begitu membingungkan. Apakah Tuhan menunggu? Menunggu kita siap menerimanya atau menunggu malaikat meniup sangkakala? Mungkin tak semua pertanyaan memberi jawaban.
Mungkin Tuhan ingin membuatnya jera. Kesempatan terbaik milik orang-orang baik. Kehidupan memberikan pilihan. Mungkin mulai hari itu pemimpi akan membangun dirinya yang hancur lagi. Sebab saat ini ia berfikir sedang hancur. Yang tersisa hanya hati. Segumpal yang menentukan baik-buruk seseorang.
Tentang doa, kau mau tahu, doanya begitu singkat. Dia belajar berdoa.
Cintai aku Tuhan, bisiknya dalam doa