Minggu, 12 Januari 2014

Sang Pemberani

Sebelum datang, anak membohongi dirinya dengan berani. Bilang ke mamak bapaknya bahwa inilah waktunya. Maka hari itu, keluarga kecil datang dengan semangat mamak bapak, anak tidak. Datang ke sebuah gedung bertingkat di jalan basuki rahmat. Masuk ke sebuah kotak yang yang dapat bergerak, ke atas dan ke bawah. Tiba di ruangan yang dapat membuat menggigil kedinginan.

Anak mendapat giliran tengah-tengah. Namanya dipanggil saat dia sedang berdoa supaya Tuhan menguatkan hatinya. Dia terus bertanya pada kawannya,"Enggak sakit kan?". Tanpa ia sadari, ia telah belajar membesarkan hati, sendiri.

Saat dokter memasukkan benda tajam ke dalam tubuhnya ia menangis. Lari, terbirit-birit ketakutan. Mamak bapak mengejar. Meyakinkan. Ikut membesarkan hati. Setelah dibujuk untuk kesekian kalinya, sambil menyeka air mata, anak mencoba berani masuk kembali. Tapi ia lari lagi. Mamak marah-marah. Anak minta maaf. Mamak reda, bapak marah-marah,"Kau tahu, hatimu sekecil ini", bapak menunjuk pucuk kelingking. Anak tambah menangis. Bapak membesarkan hati dengan mengecilkan hati sang anak. Anak tetap menangis. Pada detik sekian, sakit jantung bapak kumat. Ia memegangi dadanya. Anak tak peduli, menangis. Mamak kemana entah pergi, malu anaknya tak mau-mau.

Dalam tangisannya sang anak berpikir,"Tak apa aku sakit, asal mamak bapak bahagia". Ya, memang harus ada yang dikorbankan. Meski tidak semua kebahagiaan.

Untuk ketiga kalinya anak masuk, menyeka air mata. Dokter ikut membesarkan hati. Mamak bapak disampingnya mengaji, pun anak. Tuhan ada dalam setiap hembusan nafas mereka. Anak dibius kembali. Tenang sambil mengaji dan tak menangis sama sekali. Keluar dari ruang, anak tersenyum kembali saya ledeki,"Cieee si pemberani"

Tidak ada komentar: