Kamis, 29 Mei 2014

Akhir-akhir ini saya lebih menyukai kesendirian. Diam sendiri, memperhatikan sekitar yang ramai. Bukankah hakikatnya saya tidak sedang sendirian? Tuhan selalu bersama kita. Iya, saya tiba-tiba bosan berkumpul dengan orang-orang. Menertawakan ini, mencemooh itu, membicarakan ini itu, saya sedang bosan dengan aktivitas yang begitu monotone. Entahlah, mengapa saya sering sekali mengalami hal serupa. Mungkin tertawa terus menerus bisa menghilangkan jati diri. Ya, saya kehilangan jati diri. Merasa terbodohi mimpi. Merasa dikucilkan oleh waktu.

Ketika banyak orang sibuk membicarakan dan mengejar mimpi-mimpi mereka, mimpi-mimpi saya temaram begitu saja.

Rabu, 21 Mei 2014

Abu-abu

Bukan hitam
juga putih
Hanya abu-abu
Tak warna-warni layaknya pelangi
Ya, hanya abu-abu

Jika sempat kesini, singgahlah
Meski di sini begitu berdebu
debu abu-abu

Katanya abu-abu itu ragu-ragu
Kataku abu-abu itu aku

Terserah kau bilang apa
Aku ya aku
Bukan kamu
Bukan dia
Bukan mereka

Jumat, 16 Mei 2014

Hambar

Ah perasaan itu sudah tak lagi istimewa jika terus menerus dibicarakan. Seperti akhir-akhir ini ketika saya berkumpul dengan kawan-kawan. Pasti bahasannya gak jauh-jauh masalah cinta. Hidup terlalu sempit untuk hanya memikirkan cinta. Ya cuma cinta Tuhan yang agung yang gak akan pernah bosen-bosen buat dibicarakan.

Menurut saya, cinta itu terlalu istimewa untuk dibicarakan terus-menerus. Sesuatu yang istimewa akan terasa membosankan dan hambar ketika terus menerus dikatakan. Cinta dikatakan, rindu dikatakan, semua isi hati dikatakan, jadinya hatinya kosong, gak bersisa, hampa. Makanya, kalau kalian punya pasangan, atau suka sama seseorang, gak usah deh nyata2in cinta atau bilang rindu, apalagi bawa-bawa nama Allah. Sok tahu banget gak sih orang yang suka sama orang lain terus bilang,"Aku rindu kamu karena Allah". Allah itu terlalu sakral dan jangan-jangan rindunya hanya sebatas nafsu. Taunya dari mana coba kalau dia rindu karena Allah. Allah kasih tahu ke dia? Ngerasa konco plek nya Allah? Iya, ngerasa tok. Kalau belum siap untuk semuanya, mending gak usah dinyatain, ya gpp wes dinyatain tapi gak usah lah bilang rindu atau cinta karena Allah, kecuali kalau sudah benar-benar sah atau ada hubungan. Misal nih, rindu orang tua sama anaknya. Ini nih tersakral kedua setelah cinta sama Allah. Saya aja ngorbanin banyak yang saya senangi untuk membahagiakan orang tua tapi saya gak merasa berkorban sih. Cuma pengen bapak ibuk bangga aja. Saya yakin, kalian pasti juga melakukan hal yang sama kayak saya.

Mari kita mengambil kesimpulan.
Jadiiiii, inti dari postingan ini adalah lagi-lagi gak ada intinya. Hehe.

Jangan mengkhawatirkan sesuatu yang sudah ditentukan. Jalani saja, usaha saja dengan melakukan yang terbaik dan janji Allah adalah benar.

Rabu, 14 Mei 2014

Kita Pejuang

Setelah sekian lama Rahma lewat depan TL Ambengan pura-pura cuek, akhirnya, kemarin dulu, tepatnya saya lupa, dia berhenti, memanggil nama saya. Spontan saya mendekatinya. Ah, saya begitu rindu dengannya, mungkin saya termasuk orang bodoh yang suka menahan rindu. Saya rindu tapi tak pernah berusaha untuk mencarinya, itulah kebodohan saya. Saya selalu ingat waktu pertama kali diajak Kak Alfin, dulu masih belum jadi gen coor Save Street Child Surabaya, buat ngajar di TL Ambengan. Di sana hanya ada Rahma, Dita dan Ulan. Mereka bertiga selalu membuat saya meluangkan waktu untuk datang mengajar. Semangatnya, ya saya selalu suka orang-orang yang bersemangat. 


“Aku gak boleh ikut les lagi sama ibuk,” kata Rahma tanpa ditanya. Rizki, adik pertamanya menoleh ke arah sang kakak. Mengangguk, mengiyakan ucapan kakaknya.
 


“Gakpapa, Rahma belajar sendiri ya. Rahma pinter kok, pasti bisa!” 


Ibunya yang kira-kira dua meter di depannya ikut berhenti, diam, seakan menunggu. 


Hening beberapa saat 


“Udah dulu ya, Mbak. Aku udah di tunggu ibuk,” Rahma pamit sambil menyalami saya.


Semangatnya tetap semangat Rahma yang saya kenal dulu. Semangat untuk terus belajar. Meski orang dewasa suka mematahkannya, tapi saya berharap mimpi-mimpi masih membuatnya semangat untuk “berlari”. Mimpi untuk menjadi seorang wartawan. Ah lagi-lagi saya selalu ingat saat dia bertanya,”Yang nulis koran siapa mbak? Aku pengen jadi itu,” Sesaat setelah Rahma menanyakan hal tersebut, ia memberi saya secarik kertas berisikan goresan tangan yang sebelumnya saya berikan dalam keadaan kosong bergaris.


Tulisan Rahma yang sampai sekarang masih ada di buku saya
Mungkin sekarang dia hanya penjaja koran. Mungkin sekarang matahari membakar kulitnya demi beberapa lembar yang menjadikan orang-orang membuat kelas-kelas sosial, miskin-kaya. Mungkin sekarang dia tak bisa berbuat apa-apa demi menyenangkan orang yang begitu ia sayangi, ibunya. Tapi kita tak pernah tahu esok, bulan depan, tahun depan, lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi dan seterusnya.


Semoga Tuhan memberi kami kesempatan untuk melihat Rahma dapat mewujudkan imipiannya. Impian menjadi seorang wartawan. Impian membahagiakan kedua orang tua. Impian untuk menjadi orang pintar dan berguna bagi sekitar.


Kita selalu bukan siapa-siapa dan tak bisa berbuat apa-apa bila orang tua adik-adik terlalu kuat berprinsip dalam hal mencari uang. Demi kepentingan-kepentingan ibu bapaknya, Rahma tak dapat belajar dengan kami. Tapi tak masalah. Banyak doa sudah naik ke langit untuk Rahma dan Rahma Rahma yang lain, meski doa adalah selemah-lemahnya iman. Tapi Tuhan Maha Mendengar. Bukankah Tuhan sendiri yang berjanji untuk mengijabahi siapa-siapa saja yang mau meminta. Ya, kita sesungguhnya adalah peminta-minta.


Doa supaya mereka menjadi generasi penerus bangsa yang optimis terhadap bangsanya sendiri, yang dengan senyum mengembang cerah menatap masa depan. Di tangan siapa nantinya perjuangan bangsa ini akan dilanjutkan kalau bukan di tangan mereka. Kita, bangsa Indonesia belum sepenuhnya merdeka jika kepentingan-kepentingan pribadi masih terus menerus membuat dada sesak. Kita belum sepenuhnya merdeka, kawan. Masih banyak yang harus diperjuangkan. Bukankah hidup adalah perjuangan?


Seperti Putri dan Ari, dua kakak-adik pejuang, ditegaskan lagi oleh orang tuanya bahwa mereka adalah pejuang. Tak usah bingung-bingung mencari kemana mereka pergi setelah pulang sekolah. Siang sampai malam, kalian dapat menemui mereka diperempatan RS Husada Utama. Bahkan saat libur, mereka sudah ada di perempatan Ambengan sejak pagi. Berganti-ganti perempatan demi predikat pejuang. Mereka berjuang demi membahagiakan orang tuanya. Mereka berjuang demi kenyamanan yang mereka impi-impikan. Meski perjuangan mereka terpengaruhi doktrin-doktrin orang dewasa, setidaknya kita dapat belajar dari mereka. Belajar untuk terus berjuang dan tak kenal apa itu lelah.
Yaa...mungkin memang harus diatasi sendiri masalahnya biar naik kelas. Dari dulu dapet cobaan Tuhan yang itu-itu aja. Kalau kata Mas Dodo,"Kalau kamu dapet masalah yang sama, berarti kemarin caramu menghadapi masalah masih salah, belum naik kelas". Sempet berpikiran bodoh lari dari masalah dengan cara picik. Untung Gin gin gak mau bantuin. Jadi sadar kan, masalahnya emang harus dihadapi sendiri, biar cepet2 naik kelas \m/ 

Senin, 12 Mei 2014

Kita adalah Guru

"Tujuan kami kan yang penting mereka dapat ijazah dan gak dibodohi sama temen-temennya," kata Kepala Sekolah berapi-api. 

Ucapan kepala sekolah mengingatkan saya pada tulisan Tere Liye tentang mendidik. Guru-guru dan orang dewasa sudah terpaku pada ijazah dan nilai-nilai. Mereka melupakan arti mendidik yang sesungguhnya. Mungkin guru-guru berfikir, yang namanya sekolah formal ya emang supaya dapat pengakuan sah dari pemerintah kalau bersekolah. Dan ucapan kepala sekolah SD yang tadi pagi saya datangi membuat saya begitu prihatin dengan keadaan sekarang. Bagaimana tidak, kita mayoritas orang muslim, diwajibkan untuk menuntut ilmu supaya dapat bermanfaat bagi lingkungan, bukan hanya untuk dirinya sendiri. Bahkan amal yang tidak terputus saja salah satunya ilmu yang dibagikan. Tapi apa kata ibu kepala sekolah,"supaya gak dibodohi kawan-kawannya", anak-anak dituntut berilmu supaya dapat membentengi diri sendiri, ilmu menjadi alat untuk mencapai keegoisan, seperti "supaya kamu pintar, kamu harus cari ilmu", "supaya besok kerjamu ditempat bagus, maka kamu harus cari ilmu","supaya kamu tak dibodohi teman-temanmu", dan masih banyak lagi

Pertanyaannya, ilmu kah yang kita cari selama ini? Ah, nyatanya saya juga salah satu produk dari doktrin-doktrin orang dewasa, sekolah menjadi alat untuk mencapai cita-cita. Saya sendiri pun juga harus berbenah diri, apa tujuan saya hidup, apa tujuan saya kuliah, apa tujuan saya di Surabaya. 

Untuk guru yang terhormat, didiklah generasi penerus kami dengan baik. Tanamkan nilai-nilai luhur pada generasi kami. Nilai-nilai yang membuat mereka dapat tumbuh menjadi seorang khalifah, benar-benar khalifah di bumi. Karena sejatinya manusia diturunkan ke bumi untuk menjadi khalifah, pemimpin. Memimpin tak harus orang banyak, memimpin diri sendiri, memimpin keluarga, dll. Dua jam dalam seminggu pelajaran agama saya rasa tak cukup, sebab pelajaran agama yang disekolah-sekolah cenderung mempelajari syariat. Dua jam dalam seminggu pelajaran kewarganegaraan pun saya rasa tak cukup untuk menjadikan generasi penerus kita sebagai seorang yang negarawan, jujur, tak mau korupsi dll. Jika ada, maka hanya orang-orang yang berpikirlah yang beruntung. Maka seharusnya, bukan hanya guru-guru agama yang mengajarkan agama. Dan guru-guru kewarganegaraan yang mengajarkan menjadi warga negara yang baik. Tapi kita semua, elemen masyarakat, orang-orang dewasa yang terlalu pelik berpikir, memikirkan cinta saja sudah galau setengah mati, dimarahi bos saja uring-uringan sepanjang hari, omzet penjualan menurun saja lesunya setengah mati. 
Kita adalah guru, digugu lan ditiru. Anak-anak meniru apa yang kita lakukan. 

Ada satu contoh yang selalu membuat saya miris memikirkannya. Jadi begini, dulu, waktu jaman SD, saya berangkat sekolah bersama kakak saya yang waktu itu SMP, bapak belum mengizinkan membawa sepeda ke sekolah waktu itu karena sekolah saya melewati jalan raya yang banyak bis dan truknya. Setiap pagi saya dan kakak saya selalu bertengkar. Sekolah dimulai pukul 7, saya sudah siap untuk berangkat pukul 6 dan saya harus menunggu kakak saya untuk bersiap-siap sehingga kami berangkat pukul 7 kurang sedikit. Hampir setiap hari saya jengkel karena takut terlambat masuk sekolah tapi kakak saya biasa saja hingga mungkin dulu akhirnya saya merasa masuk sekolah mepet itu tidak ada salahnya. Dannnnn waktu SMP, saya selalu langganan telat. Apalagi kalau hari Jumat ada senam pukul 6.30, saya pasti jarang ikut senam. Ujung-ujungnya kalau gak dihukum suruh ambil sampah di lapangan ya lari muter lapangan. Saking langganannya, waktu saya gak ikut senam terus ngumpet di kantin, guru yang suka ngehukum itu nyariin kita (saya punya 2 sahabat karib yang juga langganan telat, sebut saja Mega dan Ndari hahaha). "eh kalian di cari Bu S*i", rasanya bingung campur aduk dan akhirnya kita pindah ngumpet di perpus. Ternyata ada temen lagi yang bilang kita dicariin ibu itu. Sampai akhirnya kita merasa bersalah dan menyerahkan diri. Waktu SMA juga, saya langganan telat. Sekolah saya lumayan jauh dari rumah sekitar 45 menit kalau naik angkot, kalau naik motor kecepatan sedang 30 menit, kalau ngebut 15-20 menit, kalau naik motor tapi jalan ramai ya 30 menit nah kalau naik motor jalan ramai tapi ngebut ya15-20 menit. Saya terkadang naik angkot kadang motor. Sekolah dimulai pukul 6.30 dan saya sering telat. Awalnya waktu sering telat cuma ke BP terus minta surat izin masuk kelas karena telat. Pernah waktu saya kelas 3, pintu gerbang belum ditutup tapi guru sudah masuk kelas terus saya dan kawan-kawan gak dibolehin masuk. Akhirnya keterangan yang saya tulis adalah,"Enggak telat sih, tapi gak diizinin masuk sama Pak ****", hahaah. Yang paling nyesek itu, pernah saya udah ngebut dari rumah trus sampai depan sekolah, Pak Yatno, baru aja nutup gerbang, trus Wek sama Koko habis parkir motor melambaikan tangan sambil girang karena mereka baru saja lolos. Rasanya nyesek. hahaha.

Itulah salah satu contoh bahaya latennya dari anak-anak yang meniru perilaku orang dewasa. Bahkan sampai sekarang pun kalau kuliah saya suka telat, padahal sudah mencoba tidak telat. Tapi sekarang udah main intuisi, kayak Pak Kus selalu masuk 1 menit sebelum kuliah jadi diupayakan harus ada 1 menit sebelum masuk, seringnya si 1 menit setelah masuk. Yaa namanya juga diupayakan.

Jadi, kita adalah guru untuk anak-anak di sekitar. Mari belajar untuk menjadi seseorang yang benar-benar bisa digugu lan ditiru!

Rabu, 07 Mei 2014

Pernah gak sih kalian berfikir kalau kalian hanya memikirkan kalian sendiri dan orang-orang terdekat? Saya tiba-tiba kepikiran. Hidup saya sempit sekali dengan gak bisa ngerjain Dinpro aja udah sedih setengah mati, kayak dunia mau kiamat~oke ini lebay.
Pernah gak sih kalian mikirin negara? Oke, saya kadang-kadang, tapi cuma di ucapan. Kalian tahu gak, saya harus jadi apa supaya bisa mengganti sistem pemerintahan? Saya buta banget sama yang gituan.

Menurut hasil perbincangan saya dengan Mbak Mar'atus, satu-satunya negara di Asia Tenggara yang menggunakan sistem pemerintahan Demokrasi itu cuma Indonesia. Kata Mbak Mar'atus, pemerintahan Demokrasi itu digunakan oleh negara-negara yang kepentingan pribadinya sudah tuntas. Nah kita? Oh bukan, maksud saya, Nah Saya? Saya pribadi untuk memikirkan diri sendiri saja sudah pelik sampai-sampai sering curhat sampai tembok, gimana mau memikirkan negara coba. Atau mungkin saya saja yang apatis.

Jangan-jangan selama ini kita sudah dibodohi. Karena kita tidak terlalu memikirkan negara, orang-orang yang mencalonkan diri sebagai pemimpin adalah orang-orang yang membawa kepentingan, baik itu kepentingan pribadi maupun golongan~baru nyadar.

Mereka memanfaatkan situasi untuk merebut kekuasaan. Pemimpin dijadikan sebagai pekerjaan. Banyak calon pemimpin berarti banyak yang mencari pekerjaan. Mungkin mereka nganggur. Di desa saya, money politic menjadi rahasia umum, saya pikir di desa kalian juga. Siapa yang memberi paling banyak, dia yang akan menang. Ini menandakan bahwa voting terbanyak belum tentu yang terbaik. Dan yang selalu membuat saya risih adalah kampanye di jalan-jalan di pohon-pohon. Maka dari itu saya males nyoblos kemarin.

Saya selalu ingat kata-kata kakek yang hampir setiap hari bareng naik angkot, kakek itu selalu membaca buku di dalam angkot. Entah kenapa waktu itu kakek tidak membawa buku, mungkin dia lupa. Dita tiba-tiba bilang,"Untuk apa pemilu, buang-buang kertas, buang-buang aluminium buat kotak suara, buang-buang uang untuk membayar saksi, pengawas pemilu dll, kita lupa kalau sila ke 4 pancasila ialah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaran perwakilan"

Selalu kalau saya bercerita tentang kakek tersebut Hajar pasti bilang,"Kan kalau perwakilan gak bisa, musyawarah mufakat yang jadi jalan keluar"

Musyawarah rakyat yang mana? Rakyat disogok dengan "hadiah". Rakyat terlalu banyak kepentingan. Bagi mereka, ada dan tidak ada pemimpin sama saja. Malah yang aneh, sekarang ada BPJS, gak tau singkatannya apa, semacam jaminan kesehatan tapi gak gratis, bayar per bulan. Lah jaminan kesehatan malah membebani rakyat. Jadi semacam asuransi gak sih? Ya mungkin kalo pasien jamkesmas kan di anak tirikan makanya lahir BPJS, mungkin.

Jadi intinya, setiap sistem pemerintahan pasti ada plus minusnya tapi menurut saya, Indonesia belum siap untuk menjadi pemerintahan yang demokrasi. 

Selasa, 06 Mei 2014

Untuk Gadis Kecil yang Menunggu

Untuk gadis kecil yang menunggu di depan warung emaknya. Janganlah menunggu. Kami tak setiap hari datang dan tak setiap hari bersama. Hanya kepentingan yang terkadang menyamakan kedatangan.

Untuk gadis kecil yang menunggu di depan warung emaknya. Jika menemui kami adalah bahagiamu, kami rela. Tapi tak semudah itu menemui kami. Jika kau hendak menemui kami, cintailah dunia. Ambisi kami luluh lantak bersamanya.

Untuk gadis kecil yang menunggu di depan warung emaknya. Tak usahlah menunggu. Kami tak seperti yang kau pikir~bahagiamu. Belajarlah dariku, aku hanya mahkluk pura-pura yang terjebak oleh satu kata, bahagia, ya, sama sepertimu. Tapi aku hanya pura-pura. Pura-pura bahagia, pura-pura menerima, pura-pura bisa.

Untuk gadis kecil yang menunggu di depan warung emaknya. Pilihlah bahagiamu tapi jangan berpura-pura sepertiku. Kelak kau besar, kau akan tahu apalah arti pura-pura. Jadilah seorang yang merdeka, yang berhak menentukan kemana akan melangkah tanpa dibayangi kebahagiaan orang lain. Tapi kelak, kau pun akan tahu, bahwa kebahagiaan orang lain adalah sesuatu yang begitu kau inginkan. Ya, kebahagiaan bapak mamakmu.

Untuk gadis kecil yang menunggu di depan warung emaknya. Tunggulah, jika memang kedatangan kami adalah bahagiamu. Nikmatilah saat-saat bahagia ditentukan oleh dirimu, bukan lingkungan di sekitarmu. Ikhlaslah, jika suatu hari nanti, bahagiamu terpatri janji-janji membahagiakan orang lain. Sebab dari situ, akan tersungging senyuman-senyuman terindah milik orang lain. Orang yang begitu kita sayangi dan menyayangi kita. 

Senin, 05 Mei 2014

Di sebuah sudut kota, kota yang tersudutkan, lelaki kecil bernyanyi riang. Tak jelas apa yang dinyanyikannya. Dia bersenandung untuk dirinya sendiri. Hidup seolah hanya untuk hari itu. Bukan untuk kemarin atau besok. Tak hiraukan kemarin menangis tersedu karena cubitan ibunya. Lupakan tangisan kemarin karena tendangan bapaknya. Surga kah di telapak kaki orang tua? Dia juga tak hiraukan itu. Surga-Neraka hanyalah cerita, baginya.

Tak adakah yang mengajarinya agama?

Agama ia cari, bukan ia dapatkan dari warisan orang tua, atau topeng kala dia mencintai gadis pujaan anak kyai.

Mungkin setelah ia besar nanti, surga-neraka bukanlah cerita, melainkan jebakan, jebakan untuk orang-orang pamrih. Berbuat baik ingin mendapat surga~bukankah itu suatu pamrih?

Semoga Tuhan selalu menjadi tujuan utama.

Balon Harapan

Harapan layaknya balon
Balon siap diterbangkan
Terbang ke langit
menemui Tuannya, sang pemilik harapan

tiba-tiba Tuan pecahkan balon
Harapan musnah

kenapa Tuan?
Harapan tersedu

Tuan diam, tak menjawab

Harapan diam, menunggu
entah sampai kapan
tapi ia telah meletus

maka Harapan ialah sisa-sisa penghabisan

Tuan, haruskah harapan meniup balon kembali?