Rabu, 07 Mei 2014

Pernah gak sih kalian berfikir kalau kalian hanya memikirkan kalian sendiri dan orang-orang terdekat? Saya tiba-tiba kepikiran. Hidup saya sempit sekali dengan gak bisa ngerjain Dinpro aja udah sedih setengah mati, kayak dunia mau kiamat~oke ini lebay.
Pernah gak sih kalian mikirin negara? Oke, saya kadang-kadang, tapi cuma di ucapan. Kalian tahu gak, saya harus jadi apa supaya bisa mengganti sistem pemerintahan? Saya buta banget sama yang gituan.

Menurut hasil perbincangan saya dengan Mbak Mar'atus, satu-satunya negara di Asia Tenggara yang menggunakan sistem pemerintahan Demokrasi itu cuma Indonesia. Kata Mbak Mar'atus, pemerintahan Demokrasi itu digunakan oleh negara-negara yang kepentingan pribadinya sudah tuntas. Nah kita? Oh bukan, maksud saya, Nah Saya? Saya pribadi untuk memikirkan diri sendiri saja sudah pelik sampai-sampai sering curhat sampai tembok, gimana mau memikirkan negara coba. Atau mungkin saya saja yang apatis.

Jangan-jangan selama ini kita sudah dibodohi. Karena kita tidak terlalu memikirkan negara, orang-orang yang mencalonkan diri sebagai pemimpin adalah orang-orang yang membawa kepentingan, baik itu kepentingan pribadi maupun golongan~baru nyadar.

Mereka memanfaatkan situasi untuk merebut kekuasaan. Pemimpin dijadikan sebagai pekerjaan. Banyak calon pemimpin berarti banyak yang mencari pekerjaan. Mungkin mereka nganggur. Di desa saya, money politic menjadi rahasia umum, saya pikir di desa kalian juga. Siapa yang memberi paling banyak, dia yang akan menang. Ini menandakan bahwa voting terbanyak belum tentu yang terbaik. Dan yang selalu membuat saya risih adalah kampanye di jalan-jalan di pohon-pohon. Maka dari itu saya males nyoblos kemarin.

Saya selalu ingat kata-kata kakek yang hampir setiap hari bareng naik angkot, kakek itu selalu membaca buku di dalam angkot. Entah kenapa waktu itu kakek tidak membawa buku, mungkin dia lupa. Dita tiba-tiba bilang,"Untuk apa pemilu, buang-buang kertas, buang-buang aluminium buat kotak suara, buang-buang uang untuk membayar saksi, pengawas pemilu dll, kita lupa kalau sila ke 4 pancasila ialah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaran perwakilan"

Selalu kalau saya bercerita tentang kakek tersebut Hajar pasti bilang,"Kan kalau perwakilan gak bisa, musyawarah mufakat yang jadi jalan keluar"

Musyawarah rakyat yang mana? Rakyat disogok dengan "hadiah". Rakyat terlalu banyak kepentingan. Bagi mereka, ada dan tidak ada pemimpin sama saja. Malah yang aneh, sekarang ada BPJS, gak tau singkatannya apa, semacam jaminan kesehatan tapi gak gratis, bayar per bulan. Lah jaminan kesehatan malah membebani rakyat. Jadi semacam asuransi gak sih? Ya mungkin kalo pasien jamkesmas kan di anak tirikan makanya lahir BPJS, mungkin.

Jadi intinya, setiap sistem pemerintahan pasti ada plus minusnya tapi menurut saya, Indonesia belum siap untuk menjadi pemerintahan yang demokrasi. 

Tidak ada komentar: