Rabu, 14 Mei 2014

Kita Pejuang

Setelah sekian lama Rahma lewat depan TL Ambengan pura-pura cuek, akhirnya, kemarin dulu, tepatnya saya lupa, dia berhenti, memanggil nama saya. Spontan saya mendekatinya. Ah, saya begitu rindu dengannya, mungkin saya termasuk orang bodoh yang suka menahan rindu. Saya rindu tapi tak pernah berusaha untuk mencarinya, itulah kebodohan saya. Saya selalu ingat waktu pertama kali diajak Kak Alfin, dulu masih belum jadi gen coor Save Street Child Surabaya, buat ngajar di TL Ambengan. Di sana hanya ada Rahma, Dita dan Ulan. Mereka bertiga selalu membuat saya meluangkan waktu untuk datang mengajar. Semangatnya, ya saya selalu suka orang-orang yang bersemangat. 


“Aku gak boleh ikut les lagi sama ibuk,” kata Rahma tanpa ditanya. Rizki, adik pertamanya menoleh ke arah sang kakak. Mengangguk, mengiyakan ucapan kakaknya.
 


“Gakpapa, Rahma belajar sendiri ya. Rahma pinter kok, pasti bisa!” 


Ibunya yang kira-kira dua meter di depannya ikut berhenti, diam, seakan menunggu. 


Hening beberapa saat 


“Udah dulu ya, Mbak. Aku udah di tunggu ibuk,” Rahma pamit sambil menyalami saya.


Semangatnya tetap semangat Rahma yang saya kenal dulu. Semangat untuk terus belajar. Meski orang dewasa suka mematahkannya, tapi saya berharap mimpi-mimpi masih membuatnya semangat untuk “berlari”. Mimpi untuk menjadi seorang wartawan. Ah lagi-lagi saya selalu ingat saat dia bertanya,”Yang nulis koran siapa mbak? Aku pengen jadi itu,” Sesaat setelah Rahma menanyakan hal tersebut, ia memberi saya secarik kertas berisikan goresan tangan yang sebelumnya saya berikan dalam keadaan kosong bergaris.


Tulisan Rahma yang sampai sekarang masih ada di buku saya
Mungkin sekarang dia hanya penjaja koran. Mungkin sekarang matahari membakar kulitnya demi beberapa lembar yang menjadikan orang-orang membuat kelas-kelas sosial, miskin-kaya. Mungkin sekarang dia tak bisa berbuat apa-apa demi menyenangkan orang yang begitu ia sayangi, ibunya. Tapi kita tak pernah tahu esok, bulan depan, tahun depan, lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi dan seterusnya.


Semoga Tuhan memberi kami kesempatan untuk melihat Rahma dapat mewujudkan imipiannya. Impian menjadi seorang wartawan. Impian membahagiakan kedua orang tua. Impian untuk menjadi orang pintar dan berguna bagi sekitar.


Kita selalu bukan siapa-siapa dan tak bisa berbuat apa-apa bila orang tua adik-adik terlalu kuat berprinsip dalam hal mencari uang. Demi kepentingan-kepentingan ibu bapaknya, Rahma tak dapat belajar dengan kami. Tapi tak masalah. Banyak doa sudah naik ke langit untuk Rahma dan Rahma Rahma yang lain, meski doa adalah selemah-lemahnya iman. Tapi Tuhan Maha Mendengar. Bukankah Tuhan sendiri yang berjanji untuk mengijabahi siapa-siapa saja yang mau meminta. Ya, kita sesungguhnya adalah peminta-minta.


Doa supaya mereka menjadi generasi penerus bangsa yang optimis terhadap bangsanya sendiri, yang dengan senyum mengembang cerah menatap masa depan. Di tangan siapa nantinya perjuangan bangsa ini akan dilanjutkan kalau bukan di tangan mereka. Kita, bangsa Indonesia belum sepenuhnya merdeka jika kepentingan-kepentingan pribadi masih terus menerus membuat dada sesak. Kita belum sepenuhnya merdeka, kawan. Masih banyak yang harus diperjuangkan. Bukankah hidup adalah perjuangan?


Seperti Putri dan Ari, dua kakak-adik pejuang, ditegaskan lagi oleh orang tuanya bahwa mereka adalah pejuang. Tak usah bingung-bingung mencari kemana mereka pergi setelah pulang sekolah. Siang sampai malam, kalian dapat menemui mereka diperempatan RS Husada Utama. Bahkan saat libur, mereka sudah ada di perempatan Ambengan sejak pagi. Berganti-ganti perempatan demi predikat pejuang. Mereka berjuang demi membahagiakan orang tuanya. Mereka berjuang demi kenyamanan yang mereka impi-impikan. Meski perjuangan mereka terpengaruhi doktrin-doktrin orang dewasa, setidaknya kita dapat belajar dari mereka. Belajar untuk terus berjuang dan tak kenal apa itu lelah.

Tidak ada komentar: