Setelah sekian lama
Rahma lewat depan TL Ambengan pura-pura cuek, akhirnya, kemarin dulu, tepatnya
saya lupa, dia berhenti, memanggil nama saya. Spontan saya mendekatinya. Ah,
saya begitu rindu dengannya, mungkin saya termasuk orang bodoh yang suka
menahan rindu. Saya rindu tapi tak pernah berusaha untuk mencarinya, itulah
kebodohan saya. Saya selalu ingat waktu
pertama kali diajak Kak Alfin, dulu masih belum jadi gen coor Save Street Child Surabaya, buat ngajar di TL Ambengan. Di sana hanya ada Rahma, Dita dan
Ulan. Mereka bertiga selalu membuat saya meluangkan waktu untuk datang
mengajar. Semangatnya, ya saya selalu suka orang-orang yang bersemangat.
“Aku
gak boleh ikut les lagi sama ibuk,” kata Rahma tanpa ditanya.
Rizki, adik pertamanya menoleh ke arah sang kakak. Mengangguk, mengiyakan
ucapan kakaknya.
“Gakpapa,
Rahma belajar sendiri ya. Rahma pinter kok, pasti bisa!”
Ibunya yang kira-kira
dua meter di depannya ikut berhenti, diam, seakan menunggu.
Hening beberapa saat
“Udah
dulu ya, Mbak. Aku udah di tunggu ibuk,” Rahma pamit sambil menyalami saya.
Semangatnya tetap semangat
Rahma yang saya kenal dulu. Semangat untuk terus belajar. Meski orang dewasa
suka mematahkannya, tapi saya berharap mimpi-mimpi masih membuatnya semangat
untuk “berlari”. Mimpi untuk menjadi seorang wartawan. Ah lagi-lagi saya
selalu ingat saat dia bertanya,”Yang nulis koran siapa mbak? Aku pengen jadi
itu,” Sesaat setelah Rahma menanyakan hal tersebut, ia memberi saya secarik
kertas berisikan goresan tangan yang sebelumnya saya berikan dalam keadaan
kosong bergaris.
![]() |
| Tulisan Rahma yang sampai sekarang masih ada di buku saya |
Mungkin sekarang dia
hanya penjaja koran. Mungkin sekarang matahari membakar kulitnya demi beberapa
lembar yang menjadikan orang-orang membuat kelas-kelas sosial, miskin-kaya. Mungkin
sekarang dia tak bisa berbuat apa-apa demi menyenangkan orang yang begitu ia
sayangi, ibunya. Tapi kita tak pernah tahu esok, bulan depan, tahun depan, lima
tahun lagi, sepuluh tahun lagi dan seterusnya.
Semoga Tuhan memberi
kami kesempatan untuk melihat Rahma dapat mewujudkan imipiannya. Impian menjadi
seorang wartawan. Impian membahagiakan kedua orang tua. Impian untuk menjadi
orang pintar dan berguna bagi sekitar.
Kita selalu bukan
siapa-siapa dan tak bisa berbuat apa-apa bila orang tua adik-adik terlalu kuat
berprinsip dalam hal mencari uang. Demi kepentingan-kepentingan ibu bapaknya,
Rahma tak dapat belajar dengan kami. Tapi tak masalah. Banyak doa sudah naik ke
langit untuk Rahma dan Rahma Rahma yang lain, meski doa adalah selemah-lemahnya
iman. Tapi Tuhan Maha Mendengar. Bukankah Tuhan sendiri yang berjanji untuk mengijabahi
siapa-siapa saja yang mau meminta. Ya, kita sesungguhnya adalah peminta-minta.
Doa supaya mereka menjadi
generasi penerus bangsa yang optimis terhadap bangsanya sendiri, yang dengan
senyum mengembang cerah menatap masa depan. Di tangan siapa nantinya perjuangan
bangsa ini akan dilanjutkan kalau bukan di tangan mereka. Kita, bangsa
Indonesia belum sepenuhnya merdeka jika kepentingan-kepentingan pribadi masih
terus menerus membuat dada sesak. Kita belum sepenuhnya merdeka, kawan. Masih banyak
yang harus diperjuangkan. Bukankah hidup adalah perjuangan?
Seperti Putri dan Ari, dua
kakak-adik pejuang, ditegaskan lagi oleh orang tuanya bahwa mereka adalah pejuang.
Tak usah bingung-bingung mencari kemana mereka pergi setelah pulang sekolah. Siang
sampai malam, kalian dapat menemui mereka diperempatan RS Husada Utama. Bahkan
saat libur, mereka sudah ada di perempatan Ambengan sejak pagi. Berganti-ganti
perempatan demi predikat pejuang. Mereka berjuang demi membahagiakan orang
tuanya. Mereka berjuang demi kenyamanan yang mereka impi-impikan. Meski perjuangan
mereka terpengaruhi doktrin-doktrin orang dewasa, setidaknya kita dapat belajar
dari mereka. Belajar untuk terus berjuang dan tak kenal apa itu lelah.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar