Senin, 12 Mei 2014

Kita adalah Guru

"Tujuan kami kan yang penting mereka dapat ijazah dan gak dibodohi sama temen-temennya," kata Kepala Sekolah berapi-api. 

Ucapan kepala sekolah mengingatkan saya pada tulisan Tere Liye tentang mendidik. Guru-guru dan orang dewasa sudah terpaku pada ijazah dan nilai-nilai. Mereka melupakan arti mendidik yang sesungguhnya. Mungkin guru-guru berfikir, yang namanya sekolah formal ya emang supaya dapat pengakuan sah dari pemerintah kalau bersekolah. Dan ucapan kepala sekolah SD yang tadi pagi saya datangi membuat saya begitu prihatin dengan keadaan sekarang. Bagaimana tidak, kita mayoritas orang muslim, diwajibkan untuk menuntut ilmu supaya dapat bermanfaat bagi lingkungan, bukan hanya untuk dirinya sendiri. Bahkan amal yang tidak terputus saja salah satunya ilmu yang dibagikan. Tapi apa kata ibu kepala sekolah,"supaya gak dibodohi kawan-kawannya", anak-anak dituntut berilmu supaya dapat membentengi diri sendiri, ilmu menjadi alat untuk mencapai keegoisan, seperti "supaya kamu pintar, kamu harus cari ilmu", "supaya besok kerjamu ditempat bagus, maka kamu harus cari ilmu","supaya kamu tak dibodohi teman-temanmu", dan masih banyak lagi

Pertanyaannya, ilmu kah yang kita cari selama ini? Ah, nyatanya saya juga salah satu produk dari doktrin-doktrin orang dewasa, sekolah menjadi alat untuk mencapai cita-cita. Saya sendiri pun juga harus berbenah diri, apa tujuan saya hidup, apa tujuan saya kuliah, apa tujuan saya di Surabaya. 

Untuk guru yang terhormat, didiklah generasi penerus kami dengan baik. Tanamkan nilai-nilai luhur pada generasi kami. Nilai-nilai yang membuat mereka dapat tumbuh menjadi seorang khalifah, benar-benar khalifah di bumi. Karena sejatinya manusia diturunkan ke bumi untuk menjadi khalifah, pemimpin. Memimpin tak harus orang banyak, memimpin diri sendiri, memimpin keluarga, dll. Dua jam dalam seminggu pelajaran agama saya rasa tak cukup, sebab pelajaran agama yang disekolah-sekolah cenderung mempelajari syariat. Dua jam dalam seminggu pelajaran kewarganegaraan pun saya rasa tak cukup untuk menjadikan generasi penerus kita sebagai seorang yang negarawan, jujur, tak mau korupsi dll. Jika ada, maka hanya orang-orang yang berpikirlah yang beruntung. Maka seharusnya, bukan hanya guru-guru agama yang mengajarkan agama. Dan guru-guru kewarganegaraan yang mengajarkan menjadi warga negara yang baik. Tapi kita semua, elemen masyarakat, orang-orang dewasa yang terlalu pelik berpikir, memikirkan cinta saja sudah galau setengah mati, dimarahi bos saja uring-uringan sepanjang hari, omzet penjualan menurun saja lesunya setengah mati. 
Kita adalah guru, digugu lan ditiru. Anak-anak meniru apa yang kita lakukan. 

Ada satu contoh yang selalu membuat saya miris memikirkannya. Jadi begini, dulu, waktu jaman SD, saya berangkat sekolah bersama kakak saya yang waktu itu SMP, bapak belum mengizinkan membawa sepeda ke sekolah waktu itu karena sekolah saya melewati jalan raya yang banyak bis dan truknya. Setiap pagi saya dan kakak saya selalu bertengkar. Sekolah dimulai pukul 7, saya sudah siap untuk berangkat pukul 6 dan saya harus menunggu kakak saya untuk bersiap-siap sehingga kami berangkat pukul 7 kurang sedikit. Hampir setiap hari saya jengkel karena takut terlambat masuk sekolah tapi kakak saya biasa saja hingga mungkin dulu akhirnya saya merasa masuk sekolah mepet itu tidak ada salahnya. Dannnnn waktu SMP, saya selalu langganan telat. Apalagi kalau hari Jumat ada senam pukul 6.30, saya pasti jarang ikut senam. Ujung-ujungnya kalau gak dihukum suruh ambil sampah di lapangan ya lari muter lapangan. Saking langganannya, waktu saya gak ikut senam terus ngumpet di kantin, guru yang suka ngehukum itu nyariin kita (saya punya 2 sahabat karib yang juga langganan telat, sebut saja Mega dan Ndari hahaha). "eh kalian di cari Bu S*i", rasanya bingung campur aduk dan akhirnya kita pindah ngumpet di perpus. Ternyata ada temen lagi yang bilang kita dicariin ibu itu. Sampai akhirnya kita merasa bersalah dan menyerahkan diri. Waktu SMA juga, saya langganan telat. Sekolah saya lumayan jauh dari rumah sekitar 45 menit kalau naik angkot, kalau naik motor kecepatan sedang 30 menit, kalau ngebut 15-20 menit, kalau naik motor tapi jalan ramai ya 30 menit nah kalau naik motor jalan ramai tapi ngebut ya15-20 menit. Saya terkadang naik angkot kadang motor. Sekolah dimulai pukul 6.30 dan saya sering telat. Awalnya waktu sering telat cuma ke BP terus minta surat izin masuk kelas karena telat. Pernah waktu saya kelas 3, pintu gerbang belum ditutup tapi guru sudah masuk kelas terus saya dan kawan-kawan gak dibolehin masuk. Akhirnya keterangan yang saya tulis adalah,"Enggak telat sih, tapi gak diizinin masuk sama Pak ****", hahaah. Yang paling nyesek itu, pernah saya udah ngebut dari rumah trus sampai depan sekolah, Pak Yatno, baru aja nutup gerbang, trus Wek sama Koko habis parkir motor melambaikan tangan sambil girang karena mereka baru saja lolos. Rasanya nyesek. hahaha.

Itulah salah satu contoh bahaya latennya dari anak-anak yang meniru perilaku orang dewasa. Bahkan sampai sekarang pun kalau kuliah saya suka telat, padahal sudah mencoba tidak telat. Tapi sekarang udah main intuisi, kayak Pak Kus selalu masuk 1 menit sebelum kuliah jadi diupayakan harus ada 1 menit sebelum masuk, seringnya si 1 menit setelah masuk. Yaa namanya juga diupayakan.

Jadi, kita adalah guru untuk anak-anak di sekitar. Mari belajar untuk menjadi seseorang yang benar-benar bisa digugu lan ditiru!

Tidak ada komentar: