Jumat, 21 Juni 2013

Lepas Kendali

Lututku lemas tapi kugerakkan beraturan
mengikuti irama jantung yang sepertinya cepat juga
Aku benci mendengar degupan jantungku sendiri
membuatku sepuluh kali lebih resah dari biasanya

Aku tengah sendiri,
tidak mendengarkan apapun selain degupan jantung
mungkin kopi yang kubuat, membuatnya seperti itu
mungkin perasaan yang kubuat, membuatnya seperti itu
mungkin situasi yang Tuhan buat, membuatnya seperti itu

Mataku tak fokus untuk melihat
padahal aku tak cacat mata
apakah kini aku menuju kecacatan?
semoga tidak

Kupingku tak bisa mendengar dengan jelas
padahal aku tak tuli
berulang kali teman mengeluhkan ini
berulang kali aku bertanya kembali
"Hah? kamu bilang apa tadi?"

Pikiranku melayang-layang
mungkin di kepalaku ada banyak opsi yang harus dipikirkan
saking bingungnya harus memilih yang mana
semua jadi tetap melayang-layang
tak ada yang terambil untuk kulakukan

Jalanku mulai tersandung-sandung
seperti tubuhku malas menopang lagi
mungkin aku lupa berterima kasih pada mereka
hingga mereka lepas kendali

Selasa, 18 Juni 2013

Mana mana? Mana Tiara yang banyak orang bilang,"Kon kok nyantai banget si?!"
Aku butuh pribadiku yang dulu, yang jarang mendengarkan omongan orang, yang santai menghadapi apapun,  yang percaya bahwa apa yang kita ingini adalah yang akan terjadi. Aku kehilangan semua pribadiku. Mereka lenyap bersamaan. Maaf untuk banyak orang-orang di sekitarku yang tidak sabaran denganku, akhir-akhir ini, aku lebih tidak nyambungan daripada akhir-akhir kemarin.

Terima Kasih Allah

Tiba-tiba gembira tak terkira
Yeyeyelalala yeyeyeyelalala
Akhirnya. aa kir kir nya nya, setelah sekian lama, dapet A lagi. Hehehehehehehehehe. Setelah sekian lama


Bukannya mau pamer, tapi girang aja. Soalnya, nilai A ku biasanya mata kuliah non-eksak. Hehe. Ini mata kuliah teknologi pabrik kertas, dosennya dari pabrik leches (maaf kalau tulisannya salah).
Jadi inget pas UTS, hahaha. Gak tau kalau open book, dengan pedenya gak bawa apa-apa. Alhasil hampir 45 menit lebih tolah toleh sebab yang kupelajari gak keluar dan jawabannya, meski tersirat di handout, tetap saja kalau bawa handout dari dosen itu rasanya aman. 
Waktu itu aku hampir menangis, bagaimana tidak, semua sibuk nyari-nyari materi, aku cuma hewa-hewe sambil terus berdoa,"Tunjukkan kuasaMu, Ya Allah".
45 menit terasa sangat lama waktu itu, pinjam ke teman, gak dipinjam-pinjami sebab mereka juga pusing jawabannya gak ada di handout.
Alhamdulillah Tuhan mengirimkanku teman baik, Evi mau meminjami handout meski waktu mepet. Aku jawabnya pendek-pendek, soalnya aku masih ingat cerita bapak Darono waktu kuliah di luar negeri,"Just answered the question!"
Jawaban yang panjang itu menunjukkan keminter, kata dosennya Pak Darono yang di luar negeri. Sepertinya Pak Darono menerapkan prinsip itu pada mahasiswanya. 

Doaku sih, aku dapet A bukan gara2 aku jadi komting kelas, tapi memang aku layak dapet A. hehe. maaf kalau sombong, tapi aku seneng rwekkk. Mosok iyo blog isine sedih2 tok. Hehe.

Tembok : Heh! Ojok seneng sik kon! Gek ono 3 matkul sing durung metu
Aku : Babah! Sing penting akhirnya aku oleh A, setelah sekian lama. hehe

Senin, 17 Juni 2013

Sebab-Akibat

Kemarin, janjian sama Mama Fira buat ambil rapot. Hujan marah, aku gelisah dengan tertidur kembali. Arina yang memutuskan untuk menginap di kamar yang kusewa, juga ikut tertidur. Ketika hujan setengah reda, kami bangun, memutuskan menyikat gigi dengan makanan. Hujan sempurna reda, kami bercerita. Cerita bagai kawan lama. Memang, sejak semester 6, aku jarang sekali kuliah bareng teman-teman. Setelah kuliah pun aku langsung pulang, entah itu mengajar tanpa ataupun dengan upah. Kalau tidak kuliah, aku seharian bisa di lab mengerjakan yang seharusnya dikerjakan.

Kembali ke Mama Fira. Beliau sms kalau masih mandi. Kupikir kalau masih mandi tidak bisa sms, ternyata bisa. Aku masih asyik bercerita dengan selingan,"Ayo tir, ndang adus". Sampai belum habis benar ceritaku, kuputuskan untuk mandi. Selesai mandi telepon genggam berdering
"Kamu dimana?"
"Di kos. Ini mau berangkat"
"Bisa kan nemenin ibuknya Fira?"
"Bisa"
"Temen?"
"Iya"

Terimakasih sudah meragukanku.

Tak lama, telepon berdering kembali.
"Mbak, wes ditunggu ibuke Fira, bawaken helm"
"Iya"
"Mbak ke, wes mari ngurus e"
"Iya. Awakmu gak sido nang bungkul a? Jare meh ngei klambi Fira"
"Aku nang bungkul ta?Tak kancani ta?"
"Wes gak usah"
*&*^&%%^*((#$
dan berkali-kali aku berkata"Iya"
Kata Arina,"Mesti jawabane mangkelno". Aku nyengir.

Di atas sepeda berkali-kali aku "nggrundel". Harusnya mereka kubuatkan pilihan, percaya kemudian serahkan padaku atau tidak sama sekali. 

Waaa hujan, pikirku. Salah. Ternyata hujan menyisakan jalanan berair, sebuah sepeda motor menyalipku seakan memberiku "hujan". Aku "nggrundel" lagi, tak habis-habisnya. Dan tiba-tiba dengan santainya ada motor yang menyalipku, melewati lubang air dan croooooooot. Aku terciprat. Celana dan punggung kaki basah dan kotor.
Aku beristighfar.
Terima kasih Tuhan telah memberiku peringatan untuk tidak suudzon sama orang-orang. Setelah aku meminta maaf pada Tuhan, aku tidak kecipratan lagi.
Mungkin kalian akan berfikir bahwa segala sesuatunya bisa saja kebetulan. Dan bagiku, tidak ada sesuatu yang kebetulan. Hidup selalu ada sebab akibat, sambung menyambung. Semoga bukan hanya aku yang bisa mengambil hikmah dari kejadian ini.

Untuk Nunis dan Mbak Rinekke, maaf ya, aku berburuk sangka pada kalian. Maaf, karena tidak meminta maaf secara langsung, aku terlanjur malu sama Tuhan dan kalian. Jika kalian tidak sengaja membaca tulisan ini, aku ingin setelah titik terakhir dari tulisan ini, kalian memaafkanku.

Cerita Seseorang

Adalah orangnya yang suka bermimpi, ingin mewujudkan tapi tak mau berusaha. Mungkin gara-gara mimpi-mimpi yang terlalu berserakan. Mungkin gara-gara malas memunguti satu-satu mimpi tersebut. Mungkin percaya bahwa semua sudah dituliskan Tuhan. Mungkin orang tersebut tahu, kalau-kalau Tuhan mengizinkan semua mimpi-mimpinya, maka kemudian malaikat akan meniupkan sangkakala, dunia selesai, kiamat.

Jumat, 07 Juni 2013

Kenapa kita harus punya bekal jika ingin bertemu pencipta kita?
Sambil terus memakan cireng, berkali-kali  jawaban Uti gak sesuai dengan pertanyaanku
"Ti, durung turu pirang dino kok gak nyambungan?" tanyaku untuk keduakalinya setelah berkali-kali tidak satu frekuensi.
"Iyo tir, sedulurku akeh sing teko, aku ae turu gak nang kamarku og"
Entah adzab atau apa, semalam aku diajak ngomong Mas Hafif sama Nunis juga gak nyambung. Dan berasa lebih linglung daripada biasanya. Baru saja, niat mau ngambil modem di kasur malah yang tak ambil buku, berjalan ke depan leptop,"Iki lapo aku nggowo buku", untung bukunya gak tak colokin ke leptop.

Apakah gak nyambung-an itu nular? Mari kita berasumsi.
Asumsi pertama, aku gak nyambung juga gara-gara kurang tidur.
Asumsi kedua, sepertinya aku kurang darah.
Asumsi ketiga, aku kepikiran TA
Asumsi keempat, aku ketularan Uti gak nyambung
Asumsi kelima, aku memang lemot
Asumsi keenam, aku kurang asupan gizi.

Untuk Uti, maaf ya, wes ngatain kamu gak nyambung-an, sepertinya aku juga seperti kamu, tenang saja, kamu ada teman! hehe
Cukup sekian.


Senin, 03 Juni 2013

Dia

        Dia terus menulis. Tak ada yang tahu tulisannya. Mungkin ada satu dua yang singgah di blognya, itupun gara-gara nyasar. Tulisan yang hanya tentang seorang, seorang yang dulu, sekarang dan entah sampai kapan akan terus ditunggunya. Seseorang yang membuat jantungnya berdetak sama-cepatnya saat ia dikejar anjing. Ya, maka aku berpikir tak ada bedanya mencintai seseorang dengan dikejar anjing. Sama-sama terkadang kita harus berlari menghadapi mereka, pun dia.
       Kau heran mengapa aku tahu alamat blognya? Sebab aku penguntit hebat. Meski kata teman-teman penguntit dengan tukang ikut campur urusan orang itu beda tipis, aku tetap menikmati pekerjaanku ini. Jangan salah sangka, semua hasil untitanku, aman, tak ada seorang pun yang tahu, hanya tembok-tembok kamarku yang tahu. Bagaimana mungkin aku beritahu ke banyak orang? Sedang temanku hanya tembok. Cukup-cukup, ini cerita tentang dia, bukan tentangku.
       Kulihat berkali-kali dia menari, menari di atas tulisannya. Bersenandung ceria menikmati perasaannya. Mengaduh betapa sulitnya mencintai dalam diam, dalam tulisannya. Kemarin, saat tidak sengaja aku bertemu dengannya, dia melempar senyum kepadaku, dulu tak pernah. Apakah dia tahu aku menguntitinya? Masa bodoh! Yang terpenting aku bisa menikmati tulisannya.
       Dia menggambarkan sesosok laki-laki sempurna. Apakah cinta selalu memandang kesempurnaan? Jika cinta sempurna, maka Tuhan apa? Ya, Tuhan pemilik kesempurnaan, pemilik cinta, pemilik jiwa-jiwa.
   

Aku Pencuri

Aku : Teman-temanku mencuri. Haruskah aku ikut mencuri?
Tembok : Menurutmu?
Aku : Aku takut Tuhan marah
Tembok : Yasudah
Aku : Tapi aku takut nilaiku paling jelek sementara nilai teman-temanku bagus-bagus
Tembok : Kau takut pada Tuhan atau takut nilaimu jelek?
Aku : dua-duanya
Tembok : Terserahlah! Kau sudah besar
Aku : aku minta pendapatmu
Tembok : Kau bertanya hal yang kau sendiri tahu jawabannya. Kalau kau takut nilaimu jelek, itu artinya kau tidak percaya pada Tuhan
Aku : Bagaimana bisa?
Tembok : Bukankah Tuhan berpihak pada orang-orang baik. Kau tidak mau jadi orang baik?
Aku : mau
Tembok : mungkin, besok nilaimu paling jelek di mata manusia. tapi belum tentu di mata Tuhan nilaimu buruk
Aku : memangnya Tuhan punya mata?
Tembok : Entah! tapi yang jelas Tuhan Maha Melihat
Aku : oh iya
Tembok : Terus?
Aku : Terus apanya?
Tembok : Terus kau akan tetap mencuri
Aku : Boleh gak kalau aku liat trus aku cari tahu sendiri
Tembok : Melihat itu juga proses mencuri. Sebab si empunya gak tahu kalau dilihat
Aku : tapi kata teman-teman kemarin, bapaknya nyuruh ngopy
Tembok : Terserah kamulah

Penikmat Pagi

        Pagi ini seperti pagi-pagi biasanya, biasa untuk menjadikan aku orang spesial. Tuhan menghamparkan lukisan langit dimana warna merah muda dan biru berdampingan, rasanya aku terlalu ge-er dengan mengira ini semua diciptakan untukku, tapi biarlah. 
       Menghirup nafas lega, pagi membuatku lega. Aku berdiri menatap pagi, sendiri. Aku sudah terbiasa menikmati pagi sendiri. Dulu, aku paling tak suka diajak ibu untuk menikmati pagi. Banyak sekali alasan untuk menolak menemaninya menikmati pagi, meski akhirnya mau-tidak mau, aku terpaksa mau. Terpaksa membuatku terbiasa. Dan kini hampir setiap hari aku merindukan kebiasaan kami. Mungkin benar, kita tidak akan pernah tahu apa yang kita miliki hingga nanti kita kehilangan. Kehilangan? Ya, aku kehilangan. Ibu pergi menyisakan kenangan.
      Satu bulan setelah ibu hilang, rumah kacau, ayah kacau, akupun kacau. Jangan ditanya bagaimana susah payahnya aku dan ayah mencari ibu. Tiada hari tanpa pencarian. Kemarin, aku dan ayah untuk pertama kalinya masuk televisi, pencarian orang hilang. Semoga ada hasilnya.

***
       Di suatu malam setelah kelelahan mencari ibu. Aku dan ayah sama-sama membaringkan diri di sofa ruang keluarga. Ayah terpejam, pun mataku.
       "Ayah, Ayah tahu mengapa Ibu tega meninggalkan kita?" mataku masih terpejam sambil membayangkan senyum ibu. Ayah diam, lama. Kubuka mata, kutengok wajah lelah Ayah. Air jatuh dari sudut matanya. Ayah menyeka air tersebut, mataku reflek terpejam.
     "Ayo sholat isya jamaah dulu!" ajak Ayah. Aku tanpa diperintah dua kali langsung mengikuti langkah Ayah untuk mengambil air wudlu. Selesai sholat, ayah sesenggukan. Aku mendekat, menyeka air matanya. Untuk kedua kalinya aku melihat Ayah menangis. Pertama saat di sofa. Ini keduakalinya. Aku tak mungkin ikut menangis. Tangisanku akan membuat Ayah semakin sedih. 
      "Ayah, Allah sayang sama keluarga kita. Ibu pasti kembali" meski umurku baru 13 tahun, kupikir aku lebih dewasa menyikapi ini daripada Ayah.
       "Maafkan Ayah, Dek! Ayah tidak bisa menjaga ibumu dengan baik" aku tersenyum memeluk Ayah.

***

       Satu bulan sepuluh hari hilangnya Ibu.

Seorang perempuan berumur 37 tahun yang diketahui identitasnya bernama Komala ditemukan tewas di bantaran sungai Cigepeng. Diduga perempuan tersebut tewas terpeleset ke sungai yang sedang meluap kemudian hanyut terbawa arus. 

      Aku dan Ayah terperanjat mendengar berita televisi sekilas info tersebut. Cepat-cepat menuju lokasi. Ayah memacu mobil lebih cepat dari biasanya, aku tak berharap itu ibu walaupun penyiar tersebut jelas-jelas membaca nama yang sama seperti nama ibuku. 

***

      Lututku lemas. Itu Ibu. Wajahnya masih terlihat cantik meski sudah menjadi bangkai.

   "Maafkan aku, tak seharusnya aku mengusirmu! Aku menyesal! Dia hanya menginginkan hartaku! Mengapa kau benar-benar pergi waktu itu? Aku tak benar-banar ingin poligami!" untuk ketiga kalinya kulihat Ayah menangis. Lututku menjadi semakin lemas. Mataku berkunang-kunang. Sekelebat kulihat senyum ibu memanggil-manggil namaku. Ibu berada di garis antara merah muda dan biru-nya pagi. Cantik. Sangat cantik. Seribu kali lebih cantik dari biasanya.

Sabtu, 01 Juni 2013

Wajahku (belum) Bercahaya

Pagi-pagi sekali Mas Andik nge-rituit akunnya Pak Awy'
Kemudian aku iseng bertanya demikian. Memang dari dulu ingin sekali kutanyakan tapi belum sempet-sempet dan belum tahu tanya sama siapa.

Siang Bapaknya jawab






Kemudian ada yang nambahi
Dan dibalas lagi







Aku penasaran
Bapaknya baik, dibales lagi
Karena aku tipe orang berpikiran pendek maka aku ingin wajahku bercahaya. Hehe. 
Kata teman-teman kampusku, wajahku seringsekali terlihat murung, melas, sedih. Padahal sebenarnya aku tidak sedang seperti apa yang mereka sangkakan. Nah, kalo kata Mbak Tata, wajahku ngeselin. Maka kupikir cahaya jauh sekali dariku. Akkkkk. pengen. Pengen jadi kekasih Allah


Aku, Keakuan, Mengaku aku

Orang-orang berlomba-lomba mendapatkan yang terbaik
Aku berlomba dengan diriku sendiri untuk mendapatkan terbaikku
Orang-orang saling sikut untuk duduk di kursi
Aku memilih berdiri dan menyilahkan yang lain duduk
Orang-orang membaikkan citra diri sendiri supaya dicap baik
Aku memilih mengecap diri sendiri

Sebab
terbaikku dengan terbaik mereka beda
dan aku sedang ingin mengalahkan diri sendiri terlebih dahulu
Sebab
aku masih kuat berdiri
Sebab
aku tak butuh penilaian dari mereka
Tiap-tiap mulut pasti mengucap beda
biarkan mereka bicara
Sebab
memang harus ada yang diam

Sugesti

       "Kau tak merasa kita punya masalah?" Dimas mengawali pembicaraan di teras rumah. Sengaja aku tak menyuruhnya masuk rumah, biar di luar, biar masuk angin. Akhir-akhir ini udara yang bergerak di Surabaya membuat badan tak enak. Musim mulai tak jelas. Sama tak jelasnya dengan hubunganku dengan Dimas.
     Yang ditanya asyik memainkan handphone, tak peduli pada lawan bicaranya. Aku sudah mendiamkan Dimas dari sebulan yang lalu. Dia tidak punya salah apa-apa. Aku hanya jenuh. Boleh dibilang ini salahku. Tapi apakah jenuh adalah suatu kesalahan?
       "Ada yang lain selain aku?" Dimas bertanya lagi. Aku tetap tak acuh. "Aku tak bisa kau diamkan terus menerus. Kau terlalu asyik dengan duniamu. Kamu mau kita putus?" nadanya mulai meninggi.

*hening

     "Yaaaa...kalah kan! Kamu sih ganggu konsentrasiku!" aku kembali asyik dengan game setelah menyalahkan Dimas. Diam-diam kudengar Dimas mengambil nafas panjang kemudian menghembuskannya. Berat. Sepertinya dia ancang-ancang ingin beranjak dari tempat duduknya, kemudian duduk kembali.
     "Aku pulang!" katanya kemudian. Beranjak, menoleh ke tuan rumah, berjalan satu langkah, menoleh kembali kemudian menghembuskan nafas kesal.
    "Besok Riska ulang tahun, kalau kamu mau kita bisa berangkat bareng, tapi kalau kamu nggak mau yaudah!" kataku sambil berlalu masuk ke dalam rumah. 
    Sebenarnya aku juga merasa aneh dengan sikapku akhir-akhir ini. Ini gara-gara aku membaca artikel yang isinya cinta itu cuma bertahan 3 tahun. Nah, aku sama Dimas udah pacaran 3,5 tahun. Itu artinya, cinta kami harusnya sudah habis. Harusnya. Tapi aku merasa biasa saja. Anehnya, setelah membaca artikel tersebut, aku merasa jenuh dengan Dimas, semacam tersugesti untuk menjadi jenuh. Ternyata susah juga jadi orang yang mudah tersugesti. Sedikit-sedikit ikut arus. Sedikit-sedikit ikut sedih. Sedikit-sedikit ikut termotivasi. 

     Beberapa menit setelah Dimas pulang, telepon genggamku berbunyi. Layarnya tertulis nama Dimas Singodimejo. Kutekan tombol "accept"
      "Kin, aku nggak mau terus-terusan kayak gini. Kalau kamu mau kita putus, aku rela" yang diseberang berbicara dengan nada lemah.
*hening
     "Kin?" dia sepertinya menunggu aku bicara.
     "Sebenernya yang pengen putus aku apa kamu sih? Yaudah kita putus" aku menjawab kesal kemudian memutus sambungan telepon.