Senin, 03 Juni 2013

Penikmat Pagi

        Pagi ini seperti pagi-pagi biasanya, biasa untuk menjadikan aku orang spesial. Tuhan menghamparkan lukisan langit dimana warna merah muda dan biru berdampingan, rasanya aku terlalu ge-er dengan mengira ini semua diciptakan untukku, tapi biarlah. 
       Menghirup nafas lega, pagi membuatku lega. Aku berdiri menatap pagi, sendiri. Aku sudah terbiasa menikmati pagi sendiri. Dulu, aku paling tak suka diajak ibu untuk menikmati pagi. Banyak sekali alasan untuk menolak menemaninya menikmati pagi, meski akhirnya mau-tidak mau, aku terpaksa mau. Terpaksa membuatku terbiasa. Dan kini hampir setiap hari aku merindukan kebiasaan kami. Mungkin benar, kita tidak akan pernah tahu apa yang kita miliki hingga nanti kita kehilangan. Kehilangan? Ya, aku kehilangan. Ibu pergi menyisakan kenangan.
      Satu bulan setelah ibu hilang, rumah kacau, ayah kacau, akupun kacau. Jangan ditanya bagaimana susah payahnya aku dan ayah mencari ibu. Tiada hari tanpa pencarian. Kemarin, aku dan ayah untuk pertama kalinya masuk televisi, pencarian orang hilang. Semoga ada hasilnya.

***
       Di suatu malam setelah kelelahan mencari ibu. Aku dan ayah sama-sama membaringkan diri di sofa ruang keluarga. Ayah terpejam, pun mataku.
       "Ayah, Ayah tahu mengapa Ibu tega meninggalkan kita?" mataku masih terpejam sambil membayangkan senyum ibu. Ayah diam, lama. Kubuka mata, kutengok wajah lelah Ayah. Air jatuh dari sudut matanya. Ayah menyeka air tersebut, mataku reflek terpejam.
     "Ayo sholat isya jamaah dulu!" ajak Ayah. Aku tanpa diperintah dua kali langsung mengikuti langkah Ayah untuk mengambil air wudlu. Selesai sholat, ayah sesenggukan. Aku mendekat, menyeka air matanya. Untuk kedua kalinya aku melihat Ayah menangis. Pertama saat di sofa. Ini keduakalinya. Aku tak mungkin ikut menangis. Tangisanku akan membuat Ayah semakin sedih. 
      "Ayah, Allah sayang sama keluarga kita. Ibu pasti kembali" meski umurku baru 13 tahun, kupikir aku lebih dewasa menyikapi ini daripada Ayah.
       "Maafkan Ayah, Dek! Ayah tidak bisa menjaga ibumu dengan baik" aku tersenyum memeluk Ayah.

***

       Satu bulan sepuluh hari hilangnya Ibu.

Seorang perempuan berumur 37 tahun yang diketahui identitasnya bernama Komala ditemukan tewas di bantaran sungai Cigepeng. Diduga perempuan tersebut tewas terpeleset ke sungai yang sedang meluap kemudian hanyut terbawa arus. 

      Aku dan Ayah terperanjat mendengar berita televisi sekilas info tersebut. Cepat-cepat menuju lokasi. Ayah memacu mobil lebih cepat dari biasanya, aku tak berharap itu ibu walaupun penyiar tersebut jelas-jelas membaca nama yang sama seperti nama ibuku. 

***

      Lututku lemas. Itu Ibu. Wajahnya masih terlihat cantik meski sudah menjadi bangkai.

   "Maafkan aku, tak seharusnya aku mengusirmu! Aku menyesal! Dia hanya menginginkan hartaku! Mengapa kau benar-benar pergi waktu itu? Aku tak benar-banar ingin poligami!" untuk ketiga kalinya kulihat Ayah menangis. Lututku menjadi semakin lemas. Mataku berkunang-kunang. Sekelebat kulihat senyum ibu memanggil-manggil namaku. Ibu berada di garis antara merah muda dan biru-nya pagi. Cantik. Sangat cantik. Seribu kali lebih cantik dari biasanya.

Tidak ada komentar: