Adalah orangnya yang suka bermimpi, ingin mewujudkan tapi tak mau berusaha. Mungkin gara-gara mimpi-mimpi yang terlalu berserakan. Mungkin gara-gara malas memunguti satu-satu mimpi tersebut. Mungkin percaya bahwa semua sudah dituliskan Tuhan. Mungkin orang tersebut tahu, kalau-kalau Tuhan mengizinkan semua mimpi-mimpinya, maka kemudian malaikat akan meniupkan sangkakala, dunia selesai, kiamat.
Akhirnya orang tersebut bingung, mencari tahu sana-sini, berkeluh kesah tak hanya pada Tuhan sebab keingintahuannya yang besar dan menurutnya Tuhan masih menyimpan masa depannya rapat-rapat. Rerata mengatakan,"Bisa..bisa..kamu pasti bisa...," percis seperti beberapa tahun lalu. Hari-harinya resah tanpa usaha. Dia pikir Tuhan akan dengan serta merta memberinya apapun yang ia mau. Kemudian kegagalan demi kegagalan, kekecewaan demi kekecewaan membuatnya berusaha lebih keras. Ternyata, usaha yang dia pikir "keras" tersebut tak membuat Tuhan bergeming untuk memberikan izin atas doa-doa yang ia panjatkan ke langit. Dan lagi, dia berusaha, yang menurutnya tak sekeras usaha yang kedua. Apa yang terjadi, Kawan? Langit mengizinkan. Saat doa-doa yang ia ucapkan berisi doa-doa untuk orang lain, bukan untuk dirinya sendiri. Saat keinginan-keinginan menjadi rahmat untuk semua lebih kuat daripada kepentingan untuk dirinya sendiri. Saat ia merasa, mungkin memang "inilah yang terbaik", justru saat itu langit mengamini doa-doanya. Dan saat Tuhan memberikan izin atas doa-doanya, ia memilih meninggalkan. Isi kepala yang begitu sulit ditebak membuat orang-orang disekitar menyayangkan keputusannya. Banyak orang berpikir dia termasuk dalam golongan orang-orang yang merugi, orang berpikir dia menyia-nyiakan kesempatan yang Tuhan dan waktu berikan.
Tapi sungguh, tak pernah terlintas dipikirannya untuk menyia-nyiakan kesempatan yang Tuhan berikan. Ia hanya mengambil keputusan dari hasil doa-doa malamnya. Kini, dia selalu lebih ikhlas menjalani apapun dengan berkata,"mungkin inilah yang terbaik" atau "aku menurut maunya Tuhan saja". Dan menurutku, dia tak pernah paham untuk urusan ini. Benar, bahwa yang terbaik dari Tuhan adalah yang terbaik untuk kita. Tapi sungguh, pemahamannya sangatlah dangkal. Dia terlihat bodoh karena menggantungkan diri pada keajaiban. Usaha hanya diawang-awang.
Kini, lagi-lagi semuanya terulang. Harusnya ia lebih bijak menghadapi ini semua. Harusnya ia berusaha melakukan yang terbaik barulah ia berkoar-koar,"aku turut maunya Tuhan". Harusnya dia tidak mendikte Tuhan untuk mengabulkan doa-doanya. Harusnya dia 1000 x lebih dekat dengan Tuhannya supaya Tuhan memberikan "bocoran" sedikit tentang masa depannya. Harusnya dia berpikir ulang untuk menyesali ini semua, sebab mengurung diri dengan penyesalan kupikir tak akan membuat Tuhan iba.
Kawan, kau tahu siapa orang tersebut? Kau benar, itu aku.
Akhirnya orang tersebut bingung, mencari tahu sana-sini, berkeluh kesah tak hanya pada Tuhan sebab keingintahuannya yang besar dan menurutnya Tuhan masih menyimpan masa depannya rapat-rapat. Rerata mengatakan,"Bisa..bisa..kamu pasti bisa...," percis seperti beberapa tahun lalu. Hari-harinya resah tanpa usaha. Dia pikir Tuhan akan dengan serta merta memberinya apapun yang ia mau. Kemudian kegagalan demi kegagalan, kekecewaan demi kekecewaan membuatnya berusaha lebih keras. Ternyata, usaha yang dia pikir "keras" tersebut tak membuat Tuhan bergeming untuk memberikan izin atas doa-doa yang ia panjatkan ke langit. Dan lagi, dia berusaha, yang menurutnya tak sekeras usaha yang kedua. Apa yang terjadi, Kawan? Langit mengizinkan. Saat doa-doa yang ia ucapkan berisi doa-doa untuk orang lain, bukan untuk dirinya sendiri. Saat keinginan-keinginan menjadi rahmat untuk semua lebih kuat daripada kepentingan untuk dirinya sendiri. Saat ia merasa, mungkin memang "inilah yang terbaik", justru saat itu langit mengamini doa-doanya. Dan saat Tuhan memberikan izin atas doa-doanya, ia memilih meninggalkan. Isi kepala yang begitu sulit ditebak membuat orang-orang disekitar menyayangkan keputusannya. Banyak orang berpikir dia termasuk dalam golongan orang-orang yang merugi, orang berpikir dia menyia-nyiakan kesempatan yang Tuhan dan waktu berikan.
Tapi sungguh, tak pernah terlintas dipikirannya untuk menyia-nyiakan kesempatan yang Tuhan berikan. Ia hanya mengambil keputusan dari hasil doa-doa malamnya. Kini, dia selalu lebih ikhlas menjalani apapun dengan berkata,"mungkin inilah yang terbaik" atau "aku menurut maunya Tuhan saja". Dan menurutku, dia tak pernah paham untuk urusan ini. Benar, bahwa yang terbaik dari Tuhan adalah yang terbaik untuk kita. Tapi sungguh, pemahamannya sangatlah dangkal. Dia terlihat bodoh karena menggantungkan diri pada keajaiban. Usaha hanya diawang-awang.
Kini, lagi-lagi semuanya terulang. Harusnya ia lebih bijak menghadapi ini semua. Harusnya ia berusaha melakukan yang terbaik barulah ia berkoar-koar,"aku turut maunya Tuhan". Harusnya dia tidak mendikte Tuhan untuk mengabulkan doa-doanya. Harusnya dia 1000 x lebih dekat dengan Tuhannya supaya Tuhan memberikan "bocoran" sedikit tentang masa depannya. Harusnya dia berpikir ulang untuk menyesali ini semua, sebab mengurung diri dengan penyesalan kupikir tak akan membuat Tuhan iba.
Kawan, kau tahu siapa orang tersebut? Kau benar, itu aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar