Senin, 22 Desember 2014

Akan ada waktu-waktu tertentu dimana tidurmu tak lagi penting

Rabu, 19 November 2014

Mulutnya tak komat-kamit lagi seperti biasanya. Dia lupa. Lupa berdoa. Lupa memuja. Pujaannya berganti. Buat Tuhan tak suka. Mungkin Tuhan terlalu mencintainya atau dia yang terlalu percaya diri merasa dicintai. Padahal hamba tak pernah kuasa untuk sekadar merasa. Tuhan beratkan pundaknya. Atau lagi-lagi ia yang merasa berat. Perasaan. Lagi-lagi ia terlalu perasa. Tapi tak pernah merasa Tuhan mengingatkannya. Tuhan ingin ia kembali berdoa, diam-diam dalam malam seperti yang sudah-sudah.

Tuhan tak ingin ia terlalu percaya pada kemampuannya, Tuhan hancurkan harapannya. Bukankah semuanya mudah bagi Tuhan?

"Tuhan...", bisiknya perlahan,"Aku ingin kembali. Ampuni aku..."

Jumat, 24 Oktober 2014

Maka untuk detik kesekian aku kembali memikirkan hal yang sama. "Bukankah segala sesuatunya sudah ditentukan?" tanyaku pada diri sendiri.

"Mungkinkah semuanya akan berjalan dengan baik jika Tuhan kau tempatkan dalam nomor sekian? Mana doa-doa dan air mata yang selalu kau agung-agungkan dahulu? Kau telah kehilangan jati dirimu bukan, sama seperti yang pernah kau tuliskan? Ya, terlalu banyak memikirkan dunia?" nasihat tembok tiba-tiba







Tuhan, izinkan aku kembali ke jalan yang selama ini kutapaki

Rabu, 15 Oktober 2014

Minggu, 12 Oktober 2014

Cinta kita tak boleh buta
Jika buta maka bukan cinta

Sabtu, 04 Oktober 2014

Kukira aku bisa bermimpi lebih dari ini
tapi kau mematahkannya sebelum puncak
Kukira aku bisa menyambungnya kembali
tapi kau bilang lebih baik memulai yang baru lagi
Bukankah kau yang membuatku bermimpi sejauh ini?
Bukankah aku yang bersedia kau temani bermimpi?

Bahagianya tertutup duka dan luka
Mana ada percaya?

Jumat, 12 September 2014

Rindu
bukankah hanya bertemu, penawarnya?
Tak ada selain itu?
Tak ada

Saat rindu tak terbeli oleh kata-kata.
Mengapa tak sempatkan datang saja?
Mengapa?
Bukankah kau rindu sama-sama peseknya dengan Adam
dan kau rindu tertular kutu dari Vira
atau kau rindu mencium pipi Lia
kemudian kau rindu, dirindukan oleh Rizki
lalu kau rindu diceramahi Risa

mungkin Adam sudah bertemu dengan kakak yang lebih pesek dariku
mungkin Vira sudah tak berkutu
mungkin pipi Lia tak lagi mau diciumi oleh orang yang kata Lia jelek sepertiku
mungkin Rizki sudah bosan merindukanku, hingga sudah tak lagi rindu
mungkin Risa tak ingin menjadi insinyur lagi seperti keinginanku

Hati merindukan diri
bagaimana mungkin seseorang merindukan dirinya sendiri?
Ya, dia telah kehilangan jati diri

Selasa, 26 Agustus 2014

Ya. Hanya Tuhan. Cukup. Tak perlu siapapun

Sabtu, 09 Agustus 2014

Aku masih berteman dengan malam kala kau mendekat. Serupa berlumur jelaga, hitam, kelam, tak kentara oleh siapapun kecualimu. Mengapa kau bisa melihatku? tanyaku waktu itu.

Mungkin kebetulan sedang ada bulan yang menyinari wajahmu, jawabmu.

Bukankah tak ada yang kebetulan? Atau memang kita sengaja dipertemukan? Entahlah.
Tiba-tiba tersadar
mimpi serupa surga,
berwarna...

bukankah mimpi tetaplah mimpi?
dan dalam sadar, aku masih ingin tertidur

Tuhan, bangunkan aku!
kejutkan dengan cambukMu
biar saja perih tersisa
asalkan itu mauMu

Kamis, 24 Juli 2014

Tak Bisa Biasa II

Malam itu malam bulan purnama. Bulat, bersih, menggantung di langit. Andai saja bulan dapat dijangkau dengan hanya menaiki kursi, mungkin Nina sudah mengambil kemudian menyimpan rapi bulan di kamarnya. Tapi Nina tak seegois itu dengan menyimpan keindahan seorang diri. Biar sebagian wilayah bumi menikmati pantulan sinar matahari tersebut. Damai.

Tiba-tiba, lampu kamar padam. "Ah, mungkin waktunya aku memulai mimpi panjangku", pikirnya. Gelap memang selalu membuat tidurnya lebih nyenyak.

Sliiiiingggg....

Sekelebat putih seperti mendekati kamarnya

"Oke, halusinasi saja", Nina memang tak pernah ambil pusing dengan segala sesuatu, apalagi mistis.
Terkadang kita seperti kawan lama
Terkadang kita seperti kawan baru
Terkadang kita seperti tak saling kenal
Terkadang kita seperti orang asing
Terkadang kita seperti...

Hidup kita terlalu terkadang

Selasa, 08 Juli 2014

Tak Bisa Biasa

Matanya masih mengerjap-kerjap tak percaya.
"Tidak, aku pasti salah lihat!" bisiknya perlahan.
Dia mencubit tangannya sendiri. Sakit.

*bersambung

Sabtu, 28 Juni 2014

Jumat, 20 Juni 2014

Pas shalat subuh tadi pagi tiba-tiba kepikiran Buk Su (panggilan untuk Bude saya). Gak tau kenapa aku merasa Buk Su bakal meninggal. Habis shalat tidur lagi (jangan dicontoh). Kayaknya baru sebentar tidur, Mbak Furo ketok2 pintu kamar.

"Tir, bapakmu telepon ke Hajar, bilang kalau Mbok Su meninggal"

Langsung bangun dan hilang keseimbangan.

Buk Su itu...orang yang cengeng. Saat aku telpon ibuk, ngadu terus nangis, Buk Su yang saat itu berada di samping ibukku ikut nangis (kebetulan telponnya di loudspeaker), ibuk aja gak nangis.

Buk Su itu...kata bapak, orang yang paling sayang sama bapak di antara kakak-kakaknya.

Buk Su itu...selalu ceria kalau ditelfon. Terakhir kali telfon waktu aku pulang ke rumah,"Sesok teko nikahane Dek Nurul, Ya!"

Dan aku gak dateng ke nikahan cucunya. 

Ah, Tuhan, ampuni dosa-dosanya, ya

Kamis, 19 Juni 2014

Sepi sekali di sini...

Jalanan begitu sepi. Biasanya ramai kendaraan lalu lalang. Tapi entahlah mengapa orang-orang mengatakan minusku bertambah banyak. Katanya jalan begitu ramai, bahkan macet oleh kendaraan-kendaraan bervolume besar.

"Oh, mungkin hatiku saja yang sedang sepi" kukatakan sekenanya.

Mengapa harus memedulikan omongan orang?

"Kau terlalu apatis!" kata kawan suatu hari.

Bukan aku yang terlalu apatis. Kalian yang terlalu dramatis.

"Mengapa selalu kau salahkan orang lain? Tak bisakah kau menyalahkan dirimu sendiri?" kawan beringsut pergi dari sisi meredam benci.

*aku hanya tersenyum kecut*

*hening*

*ditinggalkan, sendirian*

*hening*

*berpikir*

*hening*

*muncul kawan baru*

*muncul kawan baru lagi*

*muncul kawan baru lagi*

*muncul kawan baru lagi*

.......

*kawan lama datang*

Dengan wajah benci memandang remeh,"Bagaimana bisa kau punya banyak kawan?"

Aku diam tak menjawab. Kupikir pertanyaannya sia-sia.

"Ah, topeng!"

Aku masih diam. Bukankah diam lebih baik daripada bicara tanpa manfaat?

"Hidupmu terlalu sulit kumengerti"


Kawan, aku tak selalu ingin dimengerti. Mungkin hanya duduk berdua dengan satu cone ice cream ditangan masing-masing akan memperbaiki hubungan kita. Atau dengan diam dan sesekali menimpali beberapa ceritaku yang selalu kau katakan,"Yang itu sudah pernah kau ceritai". Atau dengan menikmati semilir angin yang kita rasakan bersama.

Tapi sayang, kau tak pernah menyukai ice cream sepertiku. Kau juga sudah malas mendengar ceritaku. Dan kaupun tak pernah mau kuajak duduk berdua menikmati sepi dengan angin sepoi-sepoi yang terkadang membuat perut agak sedikit kembung.

Orang boleh datang. Orang boleh pergi. Bukankah hatiku bagai rumah, menunggu orang-orang tersayang untuk pulang. Sebab, sejauh apapun kau melangkah, kau pasti selalu merindukan pulang, ke rumah.

Rabu, 18 Juni 2014

Untuk kawan tak kenal apa itu lelah,
terima kasih
terima kasih banyak
Maaf terlalu banyak merepotkan
Maaf terlalu banyak membosankan

Kamis, 05 Juni 2014

Kami tidak sedang di atas panggung
tapi kalian menertawakan
Kami tidak sedang berdiri di atas podium
tapi kalian bertepuk tangan
Apa kalian terlalu butuh hiburan?

Kami tidak sedang bermain peran, Kawan!
Oh, mungkin kalian benar-benar butuh hiburan
Tapi kami tidak sedang ingin ditertawakan, Kawan!

Kami bukan tontonan
dan kalian bukan penonton
Kita sama-sama berada di atas panggung
Panggung sandiwara, bukan?

Butuh Bahu

Butuh bahu ibu
hanya itu

Hanya ingin menyandarkan kepala sambil mendengarkan cerita
Hanya ingin melepaskan beban-beban dunia
Cukup diam dan bersandar
kemudian mendengar

Tak perlu kau tahu ceritaku, Bu
Hanya ingin mendengarkanmu bercerita hingga aku tertidur dan bermimpi
Mimpi tentang hidup yang begitu adil

"Bukankah hidup memang selalu adil, Nak?!" katamu

Ibu, aku butuh bahumu
Di sini tak ada yang mau kupinjami bahu
Semua orang sibuk mengangkat bahu
Sementara aku sibuk mencari bahu

"Mengapa kau ingin menyandarkan kepalamu? Terlalu beratkah bebanmu?"

Entahlah, Bu
Aku sedang merasa hidupku tidak seimbang
aku takut Tuhan marah padaku

"Tuhan bukan untuk ditakuti, tapi dicintai, Nak! Jangan kau hiraukan bebanmu. Ikhlaslah, Nak! Jangan biarkan beban-bebanmu membuatmu tak mensyukuri hidup. Tuhan sungguh keterlaluan sayangnya kepada kita. Jangan kau sia-siakan kasih sayangNya"

Ibu,
aku malu pada Tuhan
juga padamu

Senin, 02 Juni 2014

Rindu

Tuhan beri semua
aku beri sedikit waktuku
Tuhan beri rahmatNya
aku berulang kali meninggalkanNya
meski kutahu
akulah yang sejatinya tertinggal
Tuhan,
aku rindu
Berkali-kali diingatkan kawan-kawan tentang prioritas.
"Kamu harusnya tahu mana yang harus diprioritaskan, rapat kan bisa ditunda" atau "Gak usah ikut aja, kan kamu lagi UAS"

Oke, sebenarnya saya sangat tahu diri kalau saya bukan seseorang yang cerdas dan cepat paham akan sesuatu. Saya harus belajar keras terlebih dahulu baru bisa mengerti. Kenyataannya, akhir-akhir ini saya sering sekali mengabaikan tentang "belajar keras". Ya, seperti posting sebelumnya~Ketika banyak orang sibuk membicarakan dan mengejar mimpi-mimpi mereka, mimpi-mimpi saya temaram begitu saja.
Entahlah, bukankah damai yang dicari setiap orang? Saya ingin menentukan kedamaian saya sendiri. Dulu sampai detik ini saya berpikir, mungkin membuat orang lain bahagia membuat saya bahagia, damai. Tapi saya rindu berdamai dengan diri sendiri. Apa wujud damai itu? Cair, padat atau gas? Mungkin damai menyerupai gas, tak bisa dilihat tapi bisa dirasakan.
Tentang mimpi yang temaram, saya lelah berambisi, saya lelah pura-pura mengejar mimpi. Saya hanya ingin belajar ikhlas, ikhlas dalam melakukan sesuatu, supaya tak ada kata menyesal dan gagal. Bukankah kegagalan atau kesuksesan kita sendiri yang menentukan? Apa kegagalan itu? Apakah saat kita berusaha dan hasilnya tak sebaik milik orang lain dinamakan gagal? Orang-orang yang ikhlas tak akan pernah merasa gagal. Mereka berusaha semaksimal mungkin kemudian tawakal. Jika hasilnya dianggap buruk oleh orang lain, ia tak akan menganggap dirinya gagal sebab baginya cukup Tuhan yang tahu seberapa besar dia berusaha. Mungkin usaha-usahanya tak berarti di dunia tapi belum tentu tak berarti di akhirat bukan? Itulah mengapa saya selalu iri dengan orang-orang yang ikhlas dan mencintai apa yang mereka lakukan. Ajari saya ikhlas...

Bukan mengabaikan sih, tapi akhir-akhir ini saya berpikir tentang tujuan hidup saya. Saya bisa saja meninggalkan semuanya. Toh sekarang saya sudah jarang sekali mengajar. Tapi saya pikir apa tujuan hidup saya sehingga saya harus fokus belajar saja. Iya belajar juga suatu ibadah. 


Kamis, 29 Mei 2014

Akhir-akhir ini saya lebih menyukai kesendirian. Diam sendiri, memperhatikan sekitar yang ramai. Bukankah hakikatnya saya tidak sedang sendirian? Tuhan selalu bersama kita. Iya, saya tiba-tiba bosan berkumpul dengan orang-orang. Menertawakan ini, mencemooh itu, membicarakan ini itu, saya sedang bosan dengan aktivitas yang begitu monotone. Entahlah, mengapa saya sering sekali mengalami hal serupa. Mungkin tertawa terus menerus bisa menghilangkan jati diri. Ya, saya kehilangan jati diri. Merasa terbodohi mimpi. Merasa dikucilkan oleh waktu.

Ketika banyak orang sibuk membicarakan dan mengejar mimpi-mimpi mereka, mimpi-mimpi saya temaram begitu saja.

Rabu, 21 Mei 2014

Abu-abu

Bukan hitam
juga putih
Hanya abu-abu
Tak warna-warni layaknya pelangi
Ya, hanya abu-abu

Jika sempat kesini, singgahlah
Meski di sini begitu berdebu
debu abu-abu

Katanya abu-abu itu ragu-ragu
Kataku abu-abu itu aku

Terserah kau bilang apa
Aku ya aku
Bukan kamu
Bukan dia
Bukan mereka

Jumat, 16 Mei 2014

Hambar

Ah perasaan itu sudah tak lagi istimewa jika terus menerus dibicarakan. Seperti akhir-akhir ini ketika saya berkumpul dengan kawan-kawan. Pasti bahasannya gak jauh-jauh masalah cinta. Hidup terlalu sempit untuk hanya memikirkan cinta. Ya cuma cinta Tuhan yang agung yang gak akan pernah bosen-bosen buat dibicarakan.

Menurut saya, cinta itu terlalu istimewa untuk dibicarakan terus-menerus. Sesuatu yang istimewa akan terasa membosankan dan hambar ketika terus menerus dikatakan. Cinta dikatakan, rindu dikatakan, semua isi hati dikatakan, jadinya hatinya kosong, gak bersisa, hampa. Makanya, kalau kalian punya pasangan, atau suka sama seseorang, gak usah deh nyata2in cinta atau bilang rindu, apalagi bawa-bawa nama Allah. Sok tahu banget gak sih orang yang suka sama orang lain terus bilang,"Aku rindu kamu karena Allah". Allah itu terlalu sakral dan jangan-jangan rindunya hanya sebatas nafsu. Taunya dari mana coba kalau dia rindu karena Allah. Allah kasih tahu ke dia? Ngerasa konco plek nya Allah? Iya, ngerasa tok. Kalau belum siap untuk semuanya, mending gak usah dinyatain, ya gpp wes dinyatain tapi gak usah lah bilang rindu atau cinta karena Allah, kecuali kalau sudah benar-benar sah atau ada hubungan. Misal nih, rindu orang tua sama anaknya. Ini nih tersakral kedua setelah cinta sama Allah. Saya aja ngorbanin banyak yang saya senangi untuk membahagiakan orang tua tapi saya gak merasa berkorban sih. Cuma pengen bapak ibuk bangga aja. Saya yakin, kalian pasti juga melakukan hal yang sama kayak saya.

Mari kita mengambil kesimpulan.
Jadiiiii, inti dari postingan ini adalah lagi-lagi gak ada intinya. Hehe.

Jangan mengkhawatirkan sesuatu yang sudah ditentukan. Jalani saja, usaha saja dengan melakukan yang terbaik dan janji Allah adalah benar.

Rabu, 14 Mei 2014

Kita Pejuang

Setelah sekian lama Rahma lewat depan TL Ambengan pura-pura cuek, akhirnya, kemarin dulu, tepatnya saya lupa, dia berhenti, memanggil nama saya. Spontan saya mendekatinya. Ah, saya begitu rindu dengannya, mungkin saya termasuk orang bodoh yang suka menahan rindu. Saya rindu tapi tak pernah berusaha untuk mencarinya, itulah kebodohan saya. Saya selalu ingat waktu pertama kali diajak Kak Alfin, dulu masih belum jadi gen coor Save Street Child Surabaya, buat ngajar di TL Ambengan. Di sana hanya ada Rahma, Dita dan Ulan. Mereka bertiga selalu membuat saya meluangkan waktu untuk datang mengajar. Semangatnya, ya saya selalu suka orang-orang yang bersemangat. 


“Aku gak boleh ikut les lagi sama ibuk,” kata Rahma tanpa ditanya. Rizki, adik pertamanya menoleh ke arah sang kakak. Mengangguk, mengiyakan ucapan kakaknya.
 


“Gakpapa, Rahma belajar sendiri ya. Rahma pinter kok, pasti bisa!” 


Ibunya yang kira-kira dua meter di depannya ikut berhenti, diam, seakan menunggu. 


Hening beberapa saat 


“Udah dulu ya, Mbak. Aku udah di tunggu ibuk,” Rahma pamit sambil menyalami saya.


Semangatnya tetap semangat Rahma yang saya kenal dulu. Semangat untuk terus belajar. Meski orang dewasa suka mematahkannya, tapi saya berharap mimpi-mimpi masih membuatnya semangat untuk “berlari”. Mimpi untuk menjadi seorang wartawan. Ah lagi-lagi saya selalu ingat saat dia bertanya,”Yang nulis koran siapa mbak? Aku pengen jadi itu,” Sesaat setelah Rahma menanyakan hal tersebut, ia memberi saya secarik kertas berisikan goresan tangan yang sebelumnya saya berikan dalam keadaan kosong bergaris.


Tulisan Rahma yang sampai sekarang masih ada di buku saya
Mungkin sekarang dia hanya penjaja koran. Mungkin sekarang matahari membakar kulitnya demi beberapa lembar yang menjadikan orang-orang membuat kelas-kelas sosial, miskin-kaya. Mungkin sekarang dia tak bisa berbuat apa-apa demi menyenangkan orang yang begitu ia sayangi, ibunya. Tapi kita tak pernah tahu esok, bulan depan, tahun depan, lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi dan seterusnya.


Semoga Tuhan memberi kami kesempatan untuk melihat Rahma dapat mewujudkan imipiannya. Impian menjadi seorang wartawan. Impian membahagiakan kedua orang tua. Impian untuk menjadi orang pintar dan berguna bagi sekitar.


Kita selalu bukan siapa-siapa dan tak bisa berbuat apa-apa bila orang tua adik-adik terlalu kuat berprinsip dalam hal mencari uang. Demi kepentingan-kepentingan ibu bapaknya, Rahma tak dapat belajar dengan kami. Tapi tak masalah. Banyak doa sudah naik ke langit untuk Rahma dan Rahma Rahma yang lain, meski doa adalah selemah-lemahnya iman. Tapi Tuhan Maha Mendengar. Bukankah Tuhan sendiri yang berjanji untuk mengijabahi siapa-siapa saja yang mau meminta. Ya, kita sesungguhnya adalah peminta-minta.


Doa supaya mereka menjadi generasi penerus bangsa yang optimis terhadap bangsanya sendiri, yang dengan senyum mengembang cerah menatap masa depan. Di tangan siapa nantinya perjuangan bangsa ini akan dilanjutkan kalau bukan di tangan mereka. Kita, bangsa Indonesia belum sepenuhnya merdeka jika kepentingan-kepentingan pribadi masih terus menerus membuat dada sesak. Kita belum sepenuhnya merdeka, kawan. Masih banyak yang harus diperjuangkan. Bukankah hidup adalah perjuangan?


Seperti Putri dan Ari, dua kakak-adik pejuang, ditegaskan lagi oleh orang tuanya bahwa mereka adalah pejuang. Tak usah bingung-bingung mencari kemana mereka pergi setelah pulang sekolah. Siang sampai malam, kalian dapat menemui mereka diperempatan RS Husada Utama. Bahkan saat libur, mereka sudah ada di perempatan Ambengan sejak pagi. Berganti-ganti perempatan demi predikat pejuang. Mereka berjuang demi membahagiakan orang tuanya. Mereka berjuang demi kenyamanan yang mereka impi-impikan. Meski perjuangan mereka terpengaruhi doktrin-doktrin orang dewasa, setidaknya kita dapat belajar dari mereka. Belajar untuk terus berjuang dan tak kenal apa itu lelah.
Yaa...mungkin memang harus diatasi sendiri masalahnya biar naik kelas. Dari dulu dapet cobaan Tuhan yang itu-itu aja. Kalau kata Mas Dodo,"Kalau kamu dapet masalah yang sama, berarti kemarin caramu menghadapi masalah masih salah, belum naik kelas". Sempet berpikiran bodoh lari dari masalah dengan cara picik. Untung Gin gin gak mau bantuin. Jadi sadar kan, masalahnya emang harus dihadapi sendiri, biar cepet2 naik kelas \m/ 

Senin, 12 Mei 2014

Kita adalah Guru

"Tujuan kami kan yang penting mereka dapat ijazah dan gak dibodohi sama temen-temennya," kata Kepala Sekolah berapi-api. 

Ucapan kepala sekolah mengingatkan saya pada tulisan Tere Liye tentang mendidik. Guru-guru dan orang dewasa sudah terpaku pada ijazah dan nilai-nilai. Mereka melupakan arti mendidik yang sesungguhnya. Mungkin guru-guru berfikir, yang namanya sekolah formal ya emang supaya dapat pengakuan sah dari pemerintah kalau bersekolah. Dan ucapan kepala sekolah SD yang tadi pagi saya datangi membuat saya begitu prihatin dengan keadaan sekarang. Bagaimana tidak, kita mayoritas orang muslim, diwajibkan untuk menuntut ilmu supaya dapat bermanfaat bagi lingkungan, bukan hanya untuk dirinya sendiri. Bahkan amal yang tidak terputus saja salah satunya ilmu yang dibagikan. Tapi apa kata ibu kepala sekolah,"supaya gak dibodohi kawan-kawannya", anak-anak dituntut berilmu supaya dapat membentengi diri sendiri, ilmu menjadi alat untuk mencapai keegoisan, seperti "supaya kamu pintar, kamu harus cari ilmu", "supaya besok kerjamu ditempat bagus, maka kamu harus cari ilmu","supaya kamu tak dibodohi teman-temanmu", dan masih banyak lagi

Pertanyaannya, ilmu kah yang kita cari selama ini? Ah, nyatanya saya juga salah satu produk dari doktrin-doktrin orang dewasa, sekolah menjadi alat untuk mencapai cita-cita. Saya sendiri pun juga harus berbenah diri, apa tujuan saya hidup, apa tujuan saya kuliah, apa tujuan saya di Surabaya. 

Untuk guru yang terhormat, didiklah generasi penerus kami dengan baik. Tanamkan nilai-nilai luhur pada generasi kami. Nilai-nilai yang membuat mereka dapat tumbuh menjadi seorang khalifah, benar-benar khalifah di bumi. Karena sejatinya manusia diturunkan ke bumi untuk menjadi khalifah, pemimpin. Memimpin tak harus orang banyak, memimpin diri sendiri, memimpin keluarga, dll. Dua jam dalam seminggu pelajaran agama saya rasa tak cukup, sebab pelajaran agama yang disekolah-sekolah cenderung mempelajari syariat. Dua jam dalam seminggu pelajaran kewarganegaraan pun saya rasa tak cukup untuk menjadikan generasi penerus kita sebagai seorang yang negarawan, jujur, tak mau korupsi dll. Jika ada, maka hanya orang-orang yang berpikirlah yang beruntung. Maka seharusnya, bukan hanya guru-guru agama yang mengajarkan agama. Dan guru-guru kewarganegaraan yang mengajarkan menjadi warga negara yang baik. Tapi kita semua, elemen masyarakat, orang-orang dewasa yang terlalu pelik berpikir, memikirkan cinta saja sudah galau setengah mati, dimarahi bos saja uring-uringan sepanjang hari, omzet penjualan menurun saja lesunya setengah mati. 
Kita adalah guru, digugu lan ditiru. Anak-anak meniru apa yang kita lakukan. 

Ada satu contoh yang selalu membuat saya miris memikirkannya. Jadi begini, dulu, waktu jaman SD, saya berangkat sekolah bersama kakak saya yang waktu itu SMP, bapak belum mengizinkan membawa sepeda ke sekolah waktu itu karena sekolah saya melewati jalan raya yang banyak bis dan truknya. Setiap pagi saya dan kakak saya selalu bertengkar. Sekolah dimulai pukul 7, saya sudah siap untuk berangkat pukul 6 dan saya harus menunggu kakak saya untuk bersiap-siap sehingga kami berangkat pukul 7 kurang sedikit. Hampir setiap hari saya jengkel karena takut terlambat masuk sekolah tapi kakak saya biasa saja hingga mungkin dulu akhirnya saya merasa masuk sekolah mepet itu tidak ada salahnya. Dannnnn waktu SMP, saya selalu langganan telat. Apalagi kalau hari Jumat ada senam pukul 6.30, saya pasti jarang ikut senam. Ujung-ujungnya kalau gak dihukum suruh ambil sampah di lapangan ya lari muter lapangan. Saking langganannya, waktu saya gak ikut senam terus ngumpet di kantin, guru yang suka ngehukum itu nyariin kita (saya punya 2 sahabat karib yang juga langganan telat, sebut saja Mega dan Ndari hahaha). "eh kalian di cari Bu S*i", rasanya bingung campur aduk dan akhirnya kita pindah ngumpet di perpus. Ternyata ada temen lagi yang bilang kita dicariin ibu itu. Sampai akhirnya kita merasa bersalah dan menyerahkan diri. Waktu SMA juga, saya langganan telat. Sekolah saya lumayan jauh dari rumah sekitar 45 menit kalau naik angkot, kalau naik motor kecepatan sedang 30 menit, kalau ngebut 15-20 menit, kalau naik motor tapi jalan ramai ya 30 menit nah kalau naik motor jalan ramai tapi ngebut ya15-20 menit. Saya terkadang naik angkot kadang motor. Sekolah dimulai pukul 6.30 dan saya sering telat. Awalnya waktu sering telat cuma ke BP terus minta surat izin masuk kelas karena telat. Pernah waktu saya kelas 3, pintu gerbang belum ditutup tapi guru sudah masuk kelas terus saya dan kawan-kawan gak dibolehin masuk. Akhirnya keterangan yang saya tulis adalah,"Enggak telat sih, tapi gak diizinin masuk sama Pak ****", hahaah. Yang paling nyesek itu, pernah saya udah ngebut dari rumah trus sampai depan sekolah, Pak Yatno, baru aja nutup gerbang, trus Wek sama Koko habis parkir motor melambaikan tangan sambil girang karena mereka baru saja lolos. Rasanya nyesek. hahaha.

Itulah salah satu contoh bahaya latennya dari anak-anak yang meniru perilaku orang dewasa. Bahkan sampai sekarang pun kalau kuliah saya suka telat, padahal sudah mencoba tidak telat. Tapi sekarang udah main intuisi, kayak Pak Kus selalu masuk 1 menit sebelum kuliah jadi diupayakan harus ada 1 menit sebelum masuk, seringnya si 1 menit setelah masuk. Yaa namanya juga diupayakan.

Jadi, kita adalah guru untuk anak-anak di sekitar. Mari belajar untuk menjadi seseorang yang benar-benar bisa digugu lan ditiru!

Rabu, 07 Mei 2014

Pernah gak sih kalian berfikir kalau kalian hanya memikirkan kalian sendiri dan orang-orang terdekat? Saya tiba-tiba kepikiran. Hidup saya sempit sekali dengan gak bisa ngerjain Dinpro aja udah sedih setengah mati, kayak dunia mau kiamat~oke ini lebay.
Pernah gak sih kalian mikirin negara? Oke, saya kadang-kadang, tapi cuma di ucapan. Kalian tahu gak, saya harus jadi apa supaya bisa mengganti sistem pemerintahan? Saya buta banget sama yang gituan.

Menurut hasil perbincangan saya dengan Mbak Mar'atus, satu-satunya negara di Asia Tenggara yang menggunakan sistem pemerintahan Demokrasi itu cuma Indonesia. Kata Mbak Mar'atus, pemerintahan Demokrasi itu digunakan oleh negara-negara yang kepentingan pribadinya sudah tuntas. Nah kita? Oh bukan, maksud saya, Nah Saya? Saya pribadi untuk memikirkan diri sendiri saja sudah pelik sampai-sampai sering curhat sampai tembok, gimana mau memikirkan negara coba. Atau mungkin saya saja yang apatis.

Jangan-jangan selama ini kita sudah dibodohi. Karena kita tidak terlalu memikirkan negara, orang-orang yang mencalonkan diri sebagai pemimpin adalah orang-orang yang membawa kepentingan, baik itu kepentingan pribadi maupun golongan~baru nyadar.

Mereka memanfaatkan situasi untuk merebut kekuasaan. Pemimpin dijadikan sebagai pekerjaan. Banyak calon pemimpin berarti banyak yang mencari pekerjaan. Mungkin mereka nganggur. Di desa saya, money politic menjadi rahasia umum, saya pikir di desa kalian juga. Siapa yang memberi paling banyak, dia yang akan menang. Ini menandakan bahwa voting terbanyak belum tentu yang terbaik. Dan yang selalu membuat saya risih adalah kampanye di jalan-jalan di pohon-pohon. Maka dari itu saya males nyoblos kemarin.

Saya selalu ingat kata-kata kakek yang hampir setiap hari bareng naik angkot, kakek itu selalu membaca buku di dalam angkot. Entah kenapa waktu itu kakek tidak membawa buku, mungkin dia lupa. Dita tiba-tiba bilang,"Untuk apa pemilu, buang-buang kertas, buang-buang aluminium buat kotak suara, buang-buang uang untuk membayar saksi, pengawas pemilu dll, kita lupa kalau sila ke 4 pancasila ialah kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaran perwakilan"

Selalu kalau saya bercerita tentang kakek tersebut Hajar pasti bilang,"Kan kalau perwakilan gak bisa, musyawarah mufakat yang jadi jalan keluar"

Musyawarah rakyat yang mana? Rakyat disogok dengan "hadiah". Rakyat terlalu banyak kepentingan. Bagi mereka, ada dan tidak ada pemimpin sama saja. Malah yang aneh, sekarang ada BPJS, gak tau singkatannya apa, semacam jaminan kesehatan tapi gak gratis, bayar per bulan. Lah jaminan kesehatan malah membebani rakyat. Jadi semacam asuransi gak sih? Ya mungkin kalo pasien jamkesmas kan di anak tirikan makanya lahir BPJS, mungkin.

Jadi intinya, setiap sistem pemerintahan pasti ada plus minusnya tapi menurut saya, Indonesia belum siap untuk menjadi pemerintahan yang demokrasi. 

Selasa, 06 Mei 2014

Untuk Gadis Kecil yang Menunggu

Untuk gadis kecil yang menunggu di depan warung emaknya. Janganlah menunggu. Kami tak setiap hari datang dan tak setiap hari bersama. Hanya kepentingan yang terkadang menyamakan kedatangan.

Untuk gadis kecil yang menunggu di depan warung emaknya. Jika menemui kami adalah bahagiamu, kami rela. Tapi tak semudah itu menemui kami. Jika kau hendak menemui kami, cintailah dunia. Ambisi kami luluh lantak bersamanya.

Untuk gadis kecil yang menunggu di depan warung emaknya. Tak usahlah menunggu. Kami tak seperti yang kau pikir~bahagiamu. Belajarlah dariku, aku hanya mahkluk pura-pura yang terjebak oleh satu kata, bahagia, ya, sama sepertimu. Tapi aku hanya pura-pura. Pura-pura bahagia, pura-pura menerima, pura-pura bisa.

Untuk gadis kecil yang menunggu di depan warung emaknya. Pilihlah bahagiamu tapi jangan berpura-pura sepertiku. Kelak kau besar, kau akan tahu apalah arti pura-pura. Jadilah seorang yang merdeka, yang berhak menentukan kemana akan melangkah tanpa dibayangi kebahagiaan orang lain. Tapi kelak, kau pun akan tahu, bahwa kebahagiaan orang lain adalah sesuatu yang begitu kau inginkan. Ya, kebahagiaan bapak mamakmu.

Untuk gadis kecil yang menunggu di depan warung emaknya. Tunggulah, jika memang kedatangan kami adalah bahagiamu. Nikmatilah saat-saat bahagia ditentukan oleh dirimu, bukan lingkungan di sekitarmu. Ikhlaslah, jika suatu hari nanti, bahagiamu terpatri janji-janji membahagiakan orang lain. Sebab dari situ, akan tersungging senyuman-senyuman terindah milik orang lain. Orang yang begitu kita sayangi dan menyayangi kita. 

Senin, 05 Mei 2014

Di sebuah sudut kota, kota yang tersudutkan, lelaki kecil bernyanyi riang. Tak jelas apa yang dinyanyikannya. Dia bersenandung untuk dirinya sendiri. Hidup seolah hanya untuk hari itu. Bukan untuk kemarin atau besok. Tak hiraukan kemarin menangis tersedu karena cubitan ibunya. Lupakan tangisan kemarin karena tendangan bapaknya. Surga kah di telapak kaki orang tua? Dia juga tak hiraukan itu. Surga-Neraka hanyalah cerita, baginya.

Tak adakah yang mengajarinya agama?

Agama ia cari, bukan ia dapatkan dari warisan orang tua, atau topeng kala dia mencintai gadis pujaan anak kyai.

Mungkin setelah ia besar nanti, surga-neraka bukanlah cerita, melainkan jebakan, jebakan untuk orang-orang pamrih. Berbuat baik ingin mendapat surga~bukankah itu suatu pamrih?

Semoga Tuhan selalu menjadi tujuan utama.

Balon Harapan

Harapan layaknya balon
Balon siap diterbangkan
Terbang ke langit
menemui Tuannya, sang pemilik harapan

tiba-tiba Tuan pecahkan balon
Harapan musnah

kenapa Tuan?
Harapan tersedu

Tuan diam, tak menjawab

Harapan diam, menunggu
entah sampai kapan
tapi ia telah meletus

maka Harapan ialah sisa-sisa penghabisan

Tuan, haruskah harapan meniup balon kembali?

Sabtu, 26 April 2014

Kau pernah tidak dianggap? Aku sering. Ketika kau sudah mengorbankan banyak waktumu untuk sesuatu dan nyatanya kau tak dianggap, ternyata sakit (sudah tau dari dulu sih). Oke, mungkin dari sini saya bisa lebih memilih mana yang harus diprioritaskan. Kebaikan itu tak harus diketahui orang-orang sekitar. Kebaikan itu tak harus seluruh penjuru dunia tahu. Bahkan kebodohan yang dilakukan demi kebaikan pun tak ada salahnya. Dan pertanyaannya, kenapa kemarin saya mau disuruh-suruh kalau ternyata, saya lah pelengkap penggembira. Pulang selarut apapun tak masalah jika ada hasil, nah ini nihil. Hasil belum tentu menang, setidaknya dianggap pun cukup. Yayaya...lai-lagi naluri manusia saya keluar, naluri untuk dianggap.

Ya, cahaya tak harus lilin. Dan saya bukan cahaya.

Sabtu, 19 April 2014

Benteng

Laki-laki pura-pura tak tahu, maka ia bertanya
Perempuan pura-pura menjawab, padahal ia tahu
Tahu laki-laki berpura-pura

Mereka bersembunyi
di benteng kepura-puraan
entah sampai kapan

Benteng yang menjadikan mereka terkotak-kotak
Maka akan selamanya begitu
Tak ada yang mau memulai merobohkan benteng

Biar saja
Biarkan saja
Biarkan saja terus begitu
Sampai datang suatu hari
Saat mereka benar-benar mempunyai kekuatan lebih untuk merobohkannya
Kekuatan itu...
Tak termiliki oleh seorang ambisius
Tak termiliki oleh seorang pecinta dunia
Tak termiliki oleh seorang yang mudah putus asa
Iya, itu

Kamis, 17 April 2014

Mencoba Bercerita

Jika ditanya apa yang membuat sampai detik ini saya masih ikut belajar di SSChild Surabaya , yaa meski sudah sangat jarang, jawabannya adalah karena terlanjur cinta sama adik-adik. Terlanjur. Banyak kawan saya yang ingin ikut mengajar, tapi tidak sedikit yang bilang kalau,"Aku gak isok ngajar, asline aku pengen melok, Tir!". Seseorang bisa mengajari orang lain karena salah satunya dia lebih dulu tahu, belum tentu karena pintar. Jadi kita semua bisa mengajari adik-adik.

Asal kalian tahu, saya juga tidak bisa mengajar. Saya hanya memberikan apa yang saya ketahui supaya adik-adik bisa mengetahui. Makanya saya agak risih kalau disebut sebagai pengajar karena biasanya di spot-spot pembelajaran, saya hanya bermain atau mendengarkan mereka bercerita. Agak egois memang jika hanya ingin membuat diri sendiri bahagia dengan bermain bersama mereka. Tapi itulah yang saya bisa.

Awal sekali saya ikut belajar di Bungkul, hampir tiap kali datang, saya selalu disuruh buat titik-titik sama Dwi atau April atau Roki atau Lia,"Ayo talah, Mbak, tititk-titik ae," kata mereka kala itu. Saking seringnya bikin titik-titik yang membentuk huruf atau angka, kalau pas gak nemu-nemu cara nyelesein tugas, saya pasti bikin titik-titik, atau pas gak mudeng-mudeng dijelasin sama dosen terus bosen, pasti bikin titik-titik.

Kembali ke terlanjur. Saya adalah orang yang belum bisa memanajemen waktu dengan baik dan gak bisa kalau gak fokus. Jadi, saya memutuskan untuk mengurangi banyak kegiatan saya di SSCS, karena IPK saya jelek. Oke, IPK bukan segalanya tapi itu salah satu yang bisa membahagiakan orang tua, SALAH SATU. Terkadang iri sama Mbak Anis yang prestasi di kampus bagus, di SSCS juga aktif. Orang jaman sekarang menyebutnya, wanita karier sukses. Hehe.

Tapi tapi tapi...
Saya terlanjur sayang sama adik-adik...
Kalau lama gak nengok mereka rasanya kangen banget. Yaa..walaupun gak ada yang kangen sama saya..hehe...Jadi sepadat apapun jadwal kuliah, sebanyak apapun tugas masih suka nyempet-nyempetin datang ke adik-adik, meski cuma sebentar. Ya itu tadi, gara-gara terlanjur.

Bukan lagi rasa kasihan selama berada di antara mereka tapi kasih sayang. Saya selalu menganggap mereka adalah seorang anak biasa, bukan anak jalanan. Bagi saya, kita semua adalah anak jalanan. Hampir setiap hari, kita melakukan perjalanan. Dari rumah ke kampus/sekolah. Dari rumah ke kantor. Dari rumah ke mall. Dari rumah ke pasar, dan masih banyak lagi yang intinya, yang menghubungkan kita dengan tempat yang dituju ialah jalan. Berarti kita semua anak jalanan. Itu definisi saya lho yaaa...

Ada satu hal yang saya takutkan dari adik-adik. Saya takut suatu hari nanti mereka tahu arti kata Save Street Child, saya takut ada labelling di mindset mereka bahwa mereka adalah anak jalanan. Bukan berarti saya tidak setuju dengan nama itu, saya hanya takut. Tapi saya juga berdoa, semoga karena label itu, adik-adik kita mempunyai jutaan semangat untuk bangkit dan tidak lagi menjadi anak jalanan.

Pernah terfikir gak kalau suatu hari nanti di Surabaya saja misalnya, tidak ada anak jalanan, jadi komunitas SSCS tidak ada, kita bubar. Dan saya selalu berdoa seperti itu. Tidak berarti saya menginginkan SSCS bubar, tapi saya ingin tidak ada lagi adik-adik kecil yang berjualan di jalan. Atau mungkin memang sudah begitu seharusnya, Tuhan ciptakan adik-adik yang jualan di jalan supaya ada kita, SSC. Ya, mungkin memang seperti itu. Supaya dunia ini seimbang, ada pembeda. Kaya-miskin. Hitam-putih. Baik-buruk. Mungkin jika semua orang di seluruh pelosok negeri ini kaya, maka dunia tamat.

Jadi pada intinya, tulisan ini gak ada intinya. Hehe. Saya hanya mencoba bercerita lewat tulisan terus ikut lomba blog SSC. Untung-untung kalau menang. Hehe. Lagian yang pinter-pinter nulis yang saya kenal udah jadi juri, Mas Indra, Mbak Oci, Mbak Anis, jadi gak mungkin kan mereka nulis sendiri di juriin sendiri. Wkwkwkw.

Besok, kalau saya ada paketan internet lagi, tak nulis lagi deh, tentang adik-adik hebat yang pernah saya temui. Dan celakanya, semua adik yang saya temui adalah adik-adik hebat 8)

Kotak Kebahagiaan

Perempuan tiba-tiba mendulang kesedihan. Wajahnya tak hanya tertutup mendung tapi hujan. Dulu, ia sangat mencintai hujan. Baginya hujan ialah pelepas lelah, penghilang penat dan juga rahmat. Senyumnya selalu semburat dikala hujan tiba,"Hujan selalu dapat menghapus rasa sedihku,"katanya suatu hari.

Kini, iklim berubah. Hujan tak datang enam bulan sekali tapi hampir setiap hari. 

Perempuan tertegun, benih-benih bunga yang ia semai terbawa air, banjir. Benih-benih yang ia nantikan berbulan-bulan lenyap.

Masih rahmatkah hujan?

Hujan tetaplah rahmat. Tapi perempuan tetap saja menangis. Mungkin jika kebahagiaan itu dapat dikotak-kotakkan maka kebahagiaannya hanya dibatasi oleh sebuah kotak. Ya, hanya sebuah dan tak memiliki yang lainnya.

Hujan masih tetap rahmat dan hidup harus tetap berlanjut.

"Lebih baik menimba air daripada harus menanti embun, walaupun harus menimba dengan ember yang bocor sekalipun," kata salah seorang sahabatnya. Maka perlahan ia membangun kotak-kotak kebahagiaan, tak cukup satu tapi lebih dari seribu. Jika ada salah satu kotak rusak, maka ia akan membangun kembali kotak tersebut supaya tak hilang kebahagiaannya.

Ternyata, terus menerus diselimuti kebahagiaan membuatnya bosan. Sebab bahagia hanya untuk dirinya sendiri. Perempuan berfikir keras, selalu ada yang kurang setiap kali ia merasa bahagia, sendiri. Ya, meski terlambat menyadari, setidaknya ia belajar dari itu. Ia sadar bahwa kotak-kotaknya harus ia bagikan supaya tak hanya ia seorang diri yang terus menerus merasa bahagia tapi orang-orang di sekitarnya juga. Mulai hari itu, ia tak hanya membangun dan memperbaiki kotak tapi juga membagikannya ke orang-orang baik yang dikenalnya maupun tidak. Ia ingin tak hanya dirinya saja yang tersenyum bahagia tapi juga orang-orang di sekitarnya.

Hujan masih tetap rahmat. Tak hujan juga rahmat. Cuaca boleh berganti. Iklim juga. Dan bersyukur apapun yang terjadi adalah cara terbaik menikmati hidup. Hujan-panas hanyalah fase.

Lambat laun ia mulai mengganti tujuan hidupnya, bukan lagi untuk membahagiakan orang lain tapi untuk mencintai Tuhan dengan membahagiakan orang lain.

Maka, apakah sama antara orang yang berpikir dengan yang tidak?

Sabtu, 05 April 2014

Tidak ada alasan untuk tetap bertahan dengan keterpurukan, apalagi menangisinya. Tuhan tak suka hamba-Nya berputus asa. Bapak dan ibu tak pernah mengajari saya untuk menyerah, tapi tawakal, setelah usaha-usaha dilakukan, serahkan semua pada Tuhan. 

Lagi-lagi saya bertanya pada diri sendiri. Adakah puncak kebahagiaan itu? Jika ada, saya takut menuruni puncak tersebut. Mungkin bahagia itu biasa saja, kesedihan itu biasa, jadi kita tidak perlu takut seandainya sedang "merasa" ada di puncak. Semuanya wajib kita syukuri. Entah itu bahagia ataupun rasa sedih. 

Kepala terlalu banyak mimpi. Mungkin kalian pernah mendengar ada orang depresi gara-gara mimpinya ketinggian. Bisa jadi memang gila adalah suatu ketentuan Tuhan atau mimpi-mimpi yang tinggi tak disertai dengan usaha. Saya tahu, usaha tidak ada hubungannya dengan hasil, tapi setidaknya jika kita berusaha, Tuhan punya catatan lebih tentang kegigihan kita untuk bersungguh-sungguh meraih mimpi. Tidak ada yang sia-sia dari usaha. Tidak ada.

Semoga Tuhan memberkahi langkah-langkah kecil kita. Aamiin

Rabu, 02 April 2014

Tuhan, aku punya mimpi. Banyak. Telecekan. Jika Tuhan tak mengizinkan salah satunya tak apa tapi jangan semuanya yang tidak diizinkan, Tuhan. 
Yaaaa...udah lama gak menjamah blog. Hal ini dikarenakan
1. Banyak tugas
2. Gak paketan internet
Udah 2 itu aja. Sebenernya bisa sih nulis dulu terus kalau ada paketan baru posting. Tapi mau buka word aja malesnya minta ampun. Sekarang kalau buka laptop cuma buka Matlab kalau enggak ya excel. Hahaha. Sedang mencoba menikmati menjadi mahasiswa yang banyak tugas. Jenuh si banget tapi harus tetap semangat. Sahabat bilang saya terlalu berlebihan kalau stres gara-gara kuliah. Yey, porsi stres orang beda-beda. Relatif si. Mending semangat buat ningkatin IPK yang jeleknya minta ampun. Semangat!

Minggu, 09 Maret 2014

Sedia Payung Sebelum Hujan

Dulu, aku tak menyediakan payung sebelum hujan turun. Kupikir langit akan cerah seharian. Tapi perkiraanku salah. Angin berhembus kencang. Awan berkumpul menjadi satu membentuk mendung. Dan hujan. Saat hujan, kau malah berlari meninggalkan. Aku kehujanan, sendirian. Dingin. 

Meski hujan tak lagi turun, aku masih merasakan dingin itu. Dinginnya ditinggalkan. Dinginnya tanpa teman. Sampai akhirnya aku mulai bisa beradaptasi dengan lingkungan. Aku sudah tak lagi kedinginan meski hujan turun begitu deras. 

Ini musim kemarau. Kau tiba-tiba datang, setelah sekian lama, menawarkan minuman dingin. Maka maaf, meski hari ini matahari membakar kulit, aku tak tertarik dengan minuman dinginmu. Cuaca bisa berubah setiap saat. Hujan turun bisa kapan saja. Panas terhapus air hujan. Dan kau? Jangan-jangan setelah hujan turun nanti kau akan berlari berteduh sendiri (lagi). Tapi tak masalah, aku sudah sedia payung. Maka, ada atau tak ada dirimu, sudah tidak ada artinya. Tawarkan saja minuman dingin kepada orang-orang yang sekiranya dia mau kau temani hanya saat cuaca cerah!  

Kamis, 06 Maret 2014

Shaf Pertama

Karena di tempat saya dan Mustika mengerjakan tugas tidak ada tempat shalat, akhirnya kami memutuskan mencari masjid karena waktu ashar sudah mepet. Kami berhenti di masjid Keputih, gak tau namanya. Karena maghrib udah deket, sekalian nungguin maghrib, kami tetap di masjid.
"Eh aku sungkan, gak shalat, kayak tempat tongkrongan aja sini", kata Sum.
"Alah paling yang keisi shaf 1 sama 2", saya jawab sekenanya.
Pas maghrib, saya langsung ambil mukena karena wudhunya belum batal. Saya menggelar sajadah di shaf pertama. Di samping kiri saya ada 2 ibu-ibu tua, yang satu udah nenek-nenek yang satu cuma tua tapi belum nenek-nenek. Yang nenek-nenek bilang,"
*&%$#@$^&)*^%@#"
"Apa mbah?", aku gak denger, suara nenek tak terdengar jelas. Nenek bilang lagi,"#$%$^%^@##$$*&", lagi-lagi gak jelas dan saya bertanya lagi,"Apa mbah?"
Nenek kesal,"Walah, yowis nek gak krungu!"
Saya tanya sama-sama ibu di sampingnya,"Nenenk ngomong apa si tadi?".
"Gak tau, gak jelas!", si ibu jawab agak ketus. Selang beberapa menit, nenek nyeplos lagi,"Nah kan ibu-ibuke akeh sing teko!"
Saya bingung, diam, toleh kanan-kiri. Di kanan saya ada ibu-ibu yang juga udah agak tua bilang,"Udah, gakpapa, Mbak"
Saya senyum, tetep bingung. Dan ternyata samping kanan kiri dan belakang saya semua ibu-ibu.

Oke, saya akan mengambil asumsi tentang apa yang dikatakan nenek-nenek berwajah kesal
1. Shaf pertama dan kedua adalah milik ibu-ibu dan nenek-nenek
2. Nenek tidak suka ada remaja atau orang dewasa yang belum ibu-ibu berada pada shaf pertama atau kedua

Pertanyaan saya kalau memang asumsi itu benar, emang salah ya kalau anak muda ingin di shaf depan?
Tapi coba deh kalian ke masjid atau ke mushala-mushala dekat rumah, pasti shaf depan bukan anak muda. Kalau di mushala dekat rumahku ya, baris depan itu nenek-nenek. Baris kedua itu ibu-ibu. Kalau ada bu RT, bu RT biasanya ada di shaf depan juga, biasanya orang-orang sungkan dengan mempersilakan bu RT di depan. Kecuali kalau ibu-ibu yang datengnya telat, pasti dapet shaf belakang. Dan nenek-nenek tak pernah telat :D

Apa dalam islam ada aturan shaf yang tua di depan?

Senin, 03 Maret 2014

Entahlah, mengapa saya menjadi sesensitif ini. Orang-orang di sekitar seakan menertawakan. Ya, hanya seakan. Hanya dipikiran saya saja. Mungkin seleksi alam itu benar. Yang bisa, ngumpul sama yang bisa, yang tidak bisa, ngumpul sama yang tidak bisa. Tuhan, bukankah hasil ini adalah ketentuanMu? Mungkin kemarin saya harus tersingkir dari perhelatan, tapi tidak kali ini. Saya tidak akan membiarkan anda-anda tertawa, meski hanya diangan-angan saya. Ini bukan dendam. Meski saya tahu usaha dan hasil tak memiliki korelasi, setidaknya berusaha semaksimal mungkin membuat saya lebih legowo menerima apa yang Tuhan berikan.
Dunia mungkin hanya sementara, tapi jangan jadikan yang sementara menjadi sia-sia.
Bismillah

Minggu, 02 Maret 2014

Ana Insan

Matahari berselimutkan mendung
Dulu di kampungku, ia bermahkota embun
Tapi di kotaku, ia bermahkota debu
Sepagi ini
Seramai ini
Sebising ini
Peduli apa manusia tentang embun
yang dipikir hanya isi perut, hawa dingin dan kursi empuk
Siapa tak ingin?
Isi perut berubah tanya tentang makan dimana
Bukan lagi makan apa
Hawa dingin ciptaan manusia-manusia tak suka panas berego
Tak apa yang lain panas, yang penting aku dingin
Kursi empuk adalah kenyamanan
Nyaman menjabatnya
Nyaman mempermainkan jabatannya

Matahari berselimutkan mendung
Kyai-kyai memperdebatkan halal-haram
Membicarakan surga-neraka
Ada apa dengan mereka?
Surga dilelang
Sedekah dipamerkan
Pahala diperjual belikan
Hidup hanya tentang untung-rugi
Apalah kita yang mengharap kembali?
Kebaikan tak bisa ditukar meski dengan kebahagiaan
Ujian tak bisa ditukar dengan hikmah
Untuk apa mencari-cari hikmah?
Kita diuji untuk menjadi baik bukan mendapatkan yang baik
Jika kau dapat, itulah anugerah
tapi tak usahlah kau cari-cari

Tuhan, maafkan kami yang belum menjadi khalifatullah
Kami tahu, baik-buruknya kami tak memengaruhi keagunganMu
tapi, jadikanlah kami manusia-manusia yang rindu akan pertemuan denganMu dan rasulMu
aamiin

Tak Termakan Teori

Hujan membungkus kota. Perempuan-perempuan kecil elok menari di tengahnya. Tak hiraukan bapak ibu pulang akan memarahinya. Tahu apa mereka tentang kesedihan? Tak ada. Bagi mereka kesedihan hanyalah 2 menit pertama setelah "sakit". Menit selanjutnya adalah sudah lupa. Kecuali jika setelah sakit kemudian pulang ke rumah dengan air mata. Bapak, ibu mana yang tega anaknya disakiti temannya? Maka, adalah bapak ibu yang kurang bijaksana memarahi kawan-kawannya. Kemudian kawan-kawan merasa bersalah dengan menjauhi. Tapi itu hanya sementara. Lihatlah saat hujan kembali tiba, mereka akan bernyanyi dan menari bersama.

Adalah seorang lelaki kecil yang termakan teori-teori orang tua. Tak berani ia melawan hujan. Badannya ringkih karena sugesti-sugesti "jangan ini" dan "jangan itu". Ia tumbuh dengan ketakutan. Orang tua keterlaluan mecintai anaknya. Memang, anak-anak adalah ujian. Dan bahwasanya sesuatu yang berlebihan memang tak baik. Lagi-lagi hakikat cinta ialah melepaskan bukan mencengkeram. Biarkan anak-anak tumbuh dengan bebas. Bebas tak berarti liar. Bebas ialah melepaskan dengan pengawasan. Beri mereka ilmu-ilmu agama dan sosial kemudian biarkan mereka berkreasi dengan ilmu-ilmu mereka. Tegur jika memang salah. Luruskan jika memang bengkok. Beri pengertian jika memang kurang atau tak mengerti.

Selamat pagi,

Rabu, 19 Februari 2014

Perempuan terlalu penuh kejutan. Otaknya bak pasar. Ramai. Kata-katanya mirip pedang, menghunus. Bidikan selalu tepat sasaran tapi terlalu sensitif menerima perlakuan tak menyenangkan akibat bidikannya. Akibatnya, perempuan terlalu suka minta maaf meski hal kecil sekalipun.

Laki-laki bertampang tanpa ekspresi. Mau marah, sedih, bahagia. Datar. Baginya hidup hanyalah fase sebelum kematian.

Entah Tuhan menjadikan mereka satu atau tetap "aku-kamu". Bagi mereka, jalani saja...hidup bukan hanya memikirkan cinta

Minggu, 02 Februari 2014

Gadis kecil di balik jeruji

Sebatang coklat untuk gadis kecil di balik jeruji. Senyumnya malu-malu tertahan. Ia ingin cepat pulang tapi waktu belum mengizinkan. Cerianya tetap tak terenggut jeruji besi. Salah siapa?
Keadaan?
Kemiskinan?
Orang tua?
Dia mengikhlaskan sorenya untuk jalanan. Menunggu lampu hijau berganti merah. Salah siapa?

Bagiku, tak ada siapa yang lebih beruntung dari siapa. Dengan bersyukur dan menikmati semua yang Tuhan berikan bahkan lebih dari cukup untuk sebutan beruntung. Aku beruntung menjadiku. Kau beruntung menjadimu.

Gadis kecil, baik-baik disana. Tuhan begitu sayang padamu. Tubuh kecilmu harus menghadapi kepungan mahkluk-mahkluk besar suruhan orang yang menganggap dirinya besar. Buanglah jauh kecewamu pada dunia. Dunia begitu adil, Sayang! Hanya mahkluknya saja yang lebih banyak mengagung-agungkan estetika tanpa tahu etika. Hanya ibumu saja yang memulangkanmu terlalu larut. Kelak kau besar, jangan salahkan orang tuamu, Sayang! Kau hanya perlu menunjukkan pada mereka bahwa kau bisa lebih dari apa yang banyak orang pikir. Kau hanya perlu menunjukkan lekuk-lekuk bekas perjuanganmu dengan hasil yang kelak kau peroleh. Tapi ingat, dunia hanyalah tempat berteduh di kala perjalanan panjang. Perjalanan masih jauh, berikan waktumu kepada Tuhan!

Kami tak pernah berharap banyak padamu gadis kecil. Yang kami ingin, engkau sehat dan menjaga terus mimpi-mimpimu sampai Tuhan mempertemukannya dengan kenyataan.

Sabtu, 01 Februari 2014

Kopi pahit tanpa penawar
Beginikah hidup yang bagai roda?
Kadang di atas
Kadang dibawah
Di atas bersorak
Di bawah teriak, kelu
Pahit
Tapi harus bisa bangkit

Minggu, 26 Januari 2014

Ada saja cara Tuhan mengingatkanku. Benar kata padi, hidup tak selamanya indah. Terima kasih Tuhan. Mungkin memang harus terjatuh dulu supaya lebih cepat berlari.

Untuk apa memikirkan kesuksesan orang lain. Bagaimanapun cara mereka mendapatkannya, setidaknya itulah usaha. Daripada berfokus pada yang negatif, mending berpikiran positif. Tapi belajar menerima itu yang paling penting. Mungkin usahaku kurang, mungkin aku punya dosa yang akan terhapus dengan musibah ini. Hehe...aamiin. Yaaa...belajar intropeksi diri lah.

Selasa, 21 Januari 2014

Sambal Penyet

Pemimpi kembali goyah. Ia tak tahu harus berbuat apa ketika harapan tak sesuai kenyataan. Bukankah kesedihan adalah pertanda keputusasaan? Maka jika harus memilih, ia tetap memilih bersedih. Menangisi satu pintu kesempatan yang tertutup. Berlama-lama mengetuk pintu tersebut, meneriaki orang yang di dalamnya bahkan ia mencoba mendobrak pintu. Pintu terbuat dari baja kokoh yang tak bisa ia dobrak. Ia terus berdoa kepada Tuhan. Pikirnya tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan. Ia lupa. Sungguh lupa. Tuhan tak suka di dikte. Semua kejadian adalah sesuai yang tertulis.

Doa-doa terbaik apakah mampu meluluhkan Tuhan?

Ya, dia mengeluh kepada Tuhan. Memang, Tuhan sebaik-baik penolong. Tapi sayang, Tuhan hanya dijadikan pelariannya disaat Tuhan memberinya ujian. Mana ada sembahyang saat Tuhan mengujinya dengan kesenangan. Tak ada. Air mata mengering. Dengan congkak berjalan di muka bumi sambil berseru kebaikan tapi sendirinya menyeleweng. Perilaku orang munafik.

Maka di sepertiga malam ia kembali, sumber air matanya ialah hati. Tuhan mengujinya dengan kesedihan. Ia malu. Malu sekali. Maka sebab kemaluannya itu ia memutuskan tak berdoa. Ia bingung. Bingung sekali. Bingung akan berdoa apa.

Tobatnya bak makan sambal, tahu jika makan sambal kepedasan dan membuat perut sakit. Tapi setelah sembuh dari sakit ia akan makan sambal lagi.

Maukah Tuhan memaafkan setelah ia berbuat sedemikian rupa?

Dia bertanya tentang jawaban. Mengapa semua begitu membingungkan. Apakah Tuhan menunggu? Menunggu kita siap menerimanya atau menunggu malaikat meniup sangkakala? Mungkin tak semua pertanyaan memberi jawaban.

Mungkin Tuhan ingin membuatnya jera. Kesempatan terbaik milik orang-orang baik. Kehidupan memberikan pilihan. Mungkin mulai hari itu pemimpi akan membangun dirinya yang hancur lagi. Sebab saat ini ia berfikir sedang hancur. Yang tersisa hanya hati. Segumpal yang menentukan baik-buruk seseorang.

Tentang doa, kau mau tahu, doanya begitu singkat. Dia belajar berdoa.

Cintai aku Tuhan, bisiknya dalam doa

Impossible is nothing

Kita ditindas Kota

Murni berjalan sendiri. Tertatih. Rudi telah pergi meninggalkannya sebelum mereka benar-benar dekat. Mungkin dulu Rudi tak sungguhan mencintainya. Mungkin dulu Rudi hanya singgah melepas lelah. Mungkin memang Tuhan tak mengizinkan. Mungkin Murni yang terlalu percaya diri.

Kemudian Murni memutuskan pergi. Meski tetap tertatih. Dia menemukan tempat-tempat baru, kawan-kawan baru, pengalaman baru dan kesempatan baru. Rudi mulai tak memedulikannya. Murni pun mulai lupa. Baginya masa lalu hanyalah pelajaran yang harus diambil hikmah.

Murni selalu begitu, terlalu cepat jatuh cinta dan terlalu cepat melupakan. Ia tak pernah mau stagnan dengan satu orang. Tak ada paksaan dalam mencintai. Jika satu orang pergi tanpa janji mengapa harus menunggunya kembali? Mengapa tak mencari pengganti?

Bukankah hakikat cinta itu melepaskan? Saat ayah begitu mencintai anaknya, maka ayah harus merelakan sang anak pergi menggapai mimpi. Ayah tak pernah khawatir sebab suatu hari nanti anak pasti kembali. Sebab bagi anak, rumah adalah tempat kembali. Maka Murni menjadikan hatinya sebagai rumah, tempat kembalinya orang-orang yang benar-benar mencintainya.

*to be continue...

Pernahkah kamu merasa tak bisa berbuat apa-apa kecuali menunggu keputusan Tuhan? Akhir-akhir ini aku sering sekali. Yakin Tuhan sudah menyiapkan obat saat Dia menciptakan penyakit. Hanya orang-orang tertentu yang tau macam obat. Tapi kupikir aku tak butuh orang lain sebagai penyembuh. Cukuplah Tuhan sebagai penolongku.

Minggu, 19 Januari 2014

Akan ada saat dimana kita lupa dengan apa yang kita ucapkan taoi orang lain hafal betul tiap titik koma pengucapan kita

Selasa, 14 Januari 2014

Alam bawah sadar kita sudah terdoktrin dari kecil, kalau gak sekolah mau jadi apa kamu besok besar. Kita sudah terlalu mensucikan lembaga sekolah sebagai institusi yang bisa menjadikan seseorang besar. Padahal sekolah hanyalah salah satu usaha dari sekian banyak usaha. Bukankah orang-orang yang menyangkal penjelasan,"Tidak ada hubungan sebab akibat itu", menjelaskan tentang ayat Tuhan,"Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum jikalau kaum itu tidak mengubahnya sendiri". Mungkin pikiran kita terlalu dangkal dengan apa yang disebut dengan usaha. Bukankah usaha untuk menjadi kaya itu bermacam-macam. Tidak munafik bahwa kebanyakan orang bersekolah tinggi tujuannya untuk hidup yang lebih baik. Harta, tahta atau sekadar ingin hidup nyaman. 

Kembali ke usaha. Usaha itu bermacam-macam, tidak hanya sekolah. Tapi sayang kita sudah terperangkap dalam zaman dimana orang-orang begitu menyucikan lembaga sekolah. Maka akan ada pertanyaan,"Berarti besok kalau kamu punya anak gak bakal disekolahin, Tir?". Haha. Ya tetep tak sekolahin tapi tak akan kupaksa untuk sekolah. Lihatlah orang-orang lulusan teknik yang bekerja di bank atau lulusan manajemen yang menjadi wiraswata. Maka akan muncul pernyataan,"Ya emang di situ sih rejekinya". Ya jalan hidup itu memang begitu misterius. Kita bukan Tuhan yang serba tahu semuanya. Jadi jalani saja. Trus hubungannya sama usaha apa? Ehmmm...Usaha tidak ada hubungannya dengan hasil kawan, usaha itu perintah hasil itu pemberian Tuhan. Tuhan memang menyuruh kita berusaha. Tapi Tuhan tak mau di dikte. Hak prerogatif Tuhan untuk mengatur apapun yang ada pada diri kita. Jadi berusahalah semaksimal mungkin, jika Tuhan tidak berkenan dengan mimpimu, Tuhan pasti mengganti dengan yang lebih indah. Selamat bermimpi, selamat berusaha, selamat menikmati kejutan dari Tuhan dan selamat siang!

Mimpi

Bermimpilah! Maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu.

Dulu, kawan bercerita tentang mimpinya yang ingin bersekolah jauh-jauh dari sini. Selang beberapa bulan, Tuhan menjawab, mengganti setiap sakitnya "belajar". Dia pergi ke tempat yang ia inginkan, negeri di mana dalam satu tahun musim berganti selama empat kali. Waktu berjalan, akupun jua, meski di tempat.

Kini, datang kawan baru, pun bercerita tentang mimpinya. Mimpi menikmati dinginnya salju, teriknya matahari, kerasnya hidup dan perjuangan demi sebuah mimpi. Sama percis seperti 3 tahun yang lalu, yang hanya ada Tuhan, dia dan aku.
Aku tetap sama, tak punya mimpi setinggi mereka. Mimpiku hanya satu.

Jika suatu hari nanti Tuhan mengabulkan mimpi kawan baruku, aku pasti ikut bahagia.

Tapi kini, kuputuskan untuk membuat mimpi. Menulis kembali daftar-daftar mimpiku. Terus "belajar" supaya Tuhan melihatku. Terus berdoa supaya Tuhan mengasihku.

Mimpi, akhirnya kutemukan kau kembali!

Senin, 13 Januari 2014

Masa lalu

Pecinta masa lalu hidupnya tak akan damai
Terhantui bayang-bayang
Meragukan masa depan
Merindukan jawaban penantian

Simpan saja masa lalu pada kotak
Tutup rapat
Lalu sembunyikan kuncinya

Jika kau rindu, kau dapat membukanya
Jika tiap hari merindu?
Tak ada salahnya
Tapi apa guna kotak?

Kalau begitu, buang saja kotak ke laut
Beri batu kotak itu
Biar dia tenggelam
Tenggelam bersama kenangan
Kata kawan,"Masa lalu bukan hanya tentang kenangan"
Kataku,"Masa lalu hanyalah pemeran figuran"

Minggu, 12 Januari 2014

Sang Pemberani

Sebelum datang, anak membohongi dirinya dengan berani. Bilang ke mamak bapaknya bahwa inilah waktunya. Maka hari itu, keluarga kecil datang dengan semangat mamak bapak, anak tidak. Datang ke sebuah gedung bertingkat di jalan basuki rahmat. Masuk ke sebuah kotak yang yang dapat bergerak, ke atas dan ke bawah. Tiba di ruangan yang dapat membuat menggigil kedinginan.

Anak mendapat giliran tengah-tengah. Namanya dipanggil saat dia sedang berdoa supaya Tuhan menguatkan hatinya. Dia terus bertanya pada kawannya,"Enggak sakit kan?". Tanpa ia sadari, ia telah belajar membesarkan hati, sendiri.

Saat dokter memasukkan benda tajam ke dalam tubuhnya ia menangis. Lari, terbirit-birit ketakutan. Mamak bapak mengejar. Meyakinkan. Ikut membesarkan hati. Setelah dibujuk untuk kesekian kalinya, sambil menyeka air mata, anak mencoba berani masuk kembali. Tapi ia lari lagi. Mamak marah-marah. Anak minta maaf. Mamak reda, bapak marah-marah,"Kau tahu, hatimu sekecil ini", bapak menunjuk pucuk kelingking. Anak tambah menangis. Bapak membesarkan hati dengan mengecilkan hati sang anak. Anak tetap menangis. Pada detik sekian, sakit jantung bapak kumat. Ia memegangi dadanya. Anak tak peduli, menangis. Mamak kemana entah pergi, malu anaknya tak mau-mau.

Dalam tangisannya sang anak berpikir,"Tak apa aku sakit, asal mamak bapak bahagia". Ya, memang harus ada yang dikorbankan. Meski tidak semua kebahagiaan.

Untuk ketiga kalinya anak masuk, menyeka air mata. Dokter ikut membesarkan hati. Mamak bapak disampingnya mengaji, pun anak. Tuhan ada dalam setiap hembusan nafas mereka. Anak dibius kembali. Tenang sambil mengaji dan tak menangis sama sekali. Keluar dari ruang, anak tersenyum kembali saya ledeki,"Cieee si pemberani"

Doa Ibu

Padahal tinggal beberapa langkah lagi
Ia menyerah
Mengaku kalah
Dan tak mau lagi melangkah

Padahal tinggal beberapa langkah lagi
Ia tersandung
Jatuh
Dan tertinggal jauh

Padahal tinggal beberapa langkah lagi
Ibu sudah berdoa yang terbaik
Untuk anak yang dianggapnya paling baik

Padahal tinggal beberapa langkah lagi
Memang Tuhan tak merestui
Tapi Tuhan mengganti
Sesuai dengan doa doa terbaik sang ibu

Kamis, 09 Januari 2014

Tuhan baik beri semua yang ia mau. Ia kemudian terlena dengan posisinya. Ia ingin seperti kawan-kawannya yang lain, membagi. Tapi ia belum cukup bekal untuk membagi sebab setelah dibagi-bagikannya, ia malah merugi. Bermanfaat untuk orang lain tapi membawa mudorot untuk dirinya sendiri, layaknya lilin. Ia tahu, cahaya tak berarti harus lilin. Tapi ia bisa apa. Kawan-kawan yang menginginkannya. Kawan mendekat bila ia terlihat. Kawan menjauh saat ia terbunuh. Kemudian ia berpikir untuk tak berteman. Tidak tidak. Dia juga takut kesepian. Maka ia memutuskan untuk menambal luka-lukannya sendirian. Mungkin setelah tertambal ia akan kembali bergabung dengan kawan-kawannya. Sebab ia berpikir kawan hanyalah orng yang ingin melihatnya bahagia.

Selasa, 07 Januari 2014

Suatu Hari Nanti

Suatu hari kau akan tahu
Suatu hari kau akan paham
Tapi suatu hari

Sebab hari ini,
Tak kubiarkan kau tahu
Remah-remah kukunyah sendiri
Menikmatinya sambil berlalu
Menggerusnya tanpa kau tahu

Entah,
Suatu hari nanti
Kau akan tahu sendiri
Atau aku memberi tahu
Yang jelas, kau tak akan kuberi tahu

Mungkin dengan diam aku mengatakan
Mungkin dengan bernyanyi aku mengatakan
Mungkin dengan menulis aku mengatakan

Kopi dingin

Kopi dingin
Padahal tak kutambahkan bongkah es
Udara memainkan perannya

Kopi dingin
Tetap kuseruput
Tak peduli dingin, panas
Tak peduli pahit
Asal jangan terlalu manis

Kopi dingin
Sedingin perlakuanmu, padaku

Sabtu, 04 Januari 2014

Kembang Api

Kembang api disulut
satu menit
dua menit
tiga menit
tak ada bunyi ledakan
benda silinder panjang tersebut diam

Kau beri aku api
setelah sebelumnya kau beri aku air
air dan api tak mau jadi satu

Anak menyulut kembali
berusaha kemudian berharap
"salah siapa tak menyala?" batinnya dalam hati

Mengapa kau terus memaksa?
Tak adakah cara lain supaya aku bisa menyala?

Satu menit
dua menit
tiga menit
lagi-lagi tak mau menyala

Anak terdiam
tertunduk
menangis
tersedu